Translate

April 23, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Meriahkan Bulan Bahasa Bali 2021 Sanggar Seni Tedung Agung Sajikan “Anglep Sari” dan “Markandya Lango”

Sanggar Seni Tedung Agung menampilkan Sesolahan Seni Sastra “Campuhaning Rasa” dalam ajang Bulan Bahasa Bali 2021. Penampilan sanggar seni yang didukung para seniman muda itu telah ditayangkan melalui chanel YouTube Dinas Kebudayaan Provinsi Bali pada Jumat, 26 Pebruari 2021 pukul 16.00 Wita – 18.00 Wita. Ada dua karya seni yang disajikan yaitu Tabuh Pelegongan Klasik “Anglep Sari” dan Tari Legong “Markandya Lango”. Walau pentas seni secara Dalam Jaringan (Daring), namun sanggar seni yang berpusat di Ubud, Gianyar itu menampilkan karya yang sangat kreatif, dan yang pasti menginspirasi.
Dalam pegelaran di Bulan Bahasa Bali 2021 ini, Sanggar Tedung Agung sangat serius, sehingga melibatkan para seniman handal dan memiliki jiwa seni tinggi. Penata tabuh dipercayakan kepada I Wayan Sudirana dan penata tari Gede Agus Krisna Dwipayana serta I Nyoman Cerita sebagai penasehat. Sementara sebagai penanggung jawab Sanggar Tedung Agung adalah Tjokorda Putra Sukawati, dan sebagai penanggung jawab pementasan adalah Tjokorda Agung Ichiro Sukawati
Dari total 38 menit penampilannya, diawali dengan menyajikan tabuh berjudul “Anglep Sari”. Tabuh ini merupakan tabuh petegak klasik pelegongan gaya peliatan karya dari Wayan Sudirana. Anglep artinya elok atau indah, dan Sari artinya inti. Tabuh ini merupakan sebuah rangkuman sari-sari keindahan gaya klasik pelegongan khas Guru Lotring, diantaranya ada Gambangan, Angklungan, dan Sekar Gendot. Mendengar alunan nada-nada dalam bilah gamelan itu, membuktikan sang penggarap memiliki segudang pengalaman dalam memainkan berbagai jenis gamelan klasik ataupun yang tergolong baru.
Sejak tabuh itu dimulai, telinga rasanya damai karena mendengar alunan melodi dalam rangkaian ritme yang mencerminkan gaya klasik khas Pelegongan kuno yang sarat muatan estetik. Apalagi didukung para penabuh dengan menggunakan busana yang sangat sederhana, namun tampak klasik, sehingga membuat karya ini berbeda dari karya-karya lainnya. “Kalau bedanya, itu tergantung orang yang mendengarkan. Tapi, kalau saya sebagai komposer, kedua karya ini berbentuk klasik baru (neo-classical). Artinya pola ritme dan melodi klasik menjadi dasar atau pondasi, kemudian dikemas dengan tampilan klasik di jaman sekarang,” kata penata tabuh Wayan Sudirana.
Sajian seni kedua, Sanggar Seni Tedung Agung menampilkan “Markandya Lango”, sebuah garapan tari pelegongan klasik baru (neo-classical). Tari Legong “Markandya Lango” ini mengangkat cerita perjalanan Maha Rsi Agung Markandya di tanah Bali. Sebagai seni pertunjukan, Markandya Lango ini memang sangat klasik, dan menorehkan beberapa bentuk kekinian. Pakem-pakem klasik pelegongan dipertahankan dengan nafas dan warna khas pelegongan Peliatan. Namun, ada hal-hal baru yang diolah, sehingga tetap saja tampak klasik.
Sebut saja gelungan yang digunakan, bukan menggunakan geluangan dari kulit yang dipulas dengan prada lalu dimeriahkan dengan pernak-pernik lainnya. Gelungan sebagai hiasan kepala hanya memanfaatkan janur (ental) yang dirancang begitu indah, bentuknya baru, namun tampak sangat klasik. Demikian pula simping yang menggunakan kain dipadu dengan hiasan ental yang menarik. Kain polos, baju berwarna putih serta selendang dan lamak bermotif klasik, namun sangat indah.
Gde Krishna Dwipayana mengaku, sebagai penata tari palegongan itu idenya terinspirasi dari tarian legong klasik. Beberapa poin yang menjadi ciri khas tarian legong tetap dipertahankan. Tari Legong “Markandya Lango” ini didukung oleh 7 penari, diantaranya 6 penari perempuan dan 1 penari laki lakiyang berperan sebagai Rsi Markandya. “Dalam penataan costum, saya ingin ada yang menjadi ciri khas yaitu ada pada pernak-pernik yang terbuat dari janur (ental) itu. Janur itu dianyam, namun tidak menghilangkan ciri khas dari Taro Legong,” paparnya. (*)