Translate

April 20, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

2. Latar Belakang (Background)

LATAR BELAKANG DIDIRIKANNYA MONUMEN PERJUANGAN RAKYAT BALI

Perjuangan dalam merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda terjadi hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. Tekanan dan penindasan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh pihak Belanda telah memunculkan berbagai pemberontakan  di beberapa wilayah kerajaan maupun kesultanan yang berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia. Namun dengan mudah pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh pihak Belanda dengan siasat devide et impera yaitu dengan memecah belah kekuatan kerajaan atau kesultanan dengan taktik mengadu domba diantara keluarga raja dengan raja, raja dengan rakyat, dan rakyat dengan rakyat.

Namun pengalaman perang yang cukup panjang serta semakin banyaknya pemuda Indonesia yang dapat mencapai pendidikan tinggi telah membangkitkan semangat persatuan dan kesatuan dari berbagai lapisan masyarakat dan suku bangsa yang ada di Indonesia dalam mengusir penjajah. Persatuan dan kesatuan tersebut telah dirintis oleh para pemuda dari berbagai daerah di Indonesia, yang akhirnya pada tanggal 28 Oktober 1928 dicetuskan dalam pernyataan Sumpah Pemuda. Pernyataan itu diikuti oleh organisasi pemuda dari berbagai pulau dan suku di Indonesia antara lain Jong Java, Jong Pasundan, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong Celebes (Sulawesi), Jong Madura, Jong Sumatranen, Jong Batak, telah melahirkan gagasan pembentukan Jong Indonesia yang mewadahi semua suku di Indonesia.

Gema Sumpah Pemuda tersebut telah membangkitkan pula berbagai organisasi kepemudaan di Indonesia. Salah satu organisasi terkenal antara lain adalah Sarekat Islam, yang semula sebagai gerakan agama semata, kemudian berkembang menjadi gerakan rakyat pertama di Indonesia, selanjutnya muncul juga partai Indische Partij yang bererak di bidang politik. Pada saat itu di pulau Jawa bermunculan tokoh-tokoh nasionalis seperti dr, Soetomo, HOS Cokroaminoto, Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantoro), Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, dan sebagainya. Kepeloporan mereka akhirnya juga memberikan inspirasi bagi daerah-daerah lain untuk berbuat yang sama yakni menggalang persatuan dan kesatuan dalam mengusir penjajahan Belanda, salah satunya adalah perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Bali.

Pulau Bali merupakan salah satu basis perjuangan melawan Belanda, antara lain yang terkenal adalah Perang Jagaraga tahun 1848-1849 di Buleleng, Perang Kusamba tahun 1849, Perlawanan Rakyat Banjar tahun 1868, Perang Puputan Badung tahun 1906 yang dilancarkan oleh Raja Badung, Puputan Klungkung tahun 1908 dan juga Perang Puputan Margarana di Desa Marga, Tabanan yang dilakukan oleh Letkol I Gusti Ngurah Rai beserta Laskar Ciung Wanara yang telah melakukan perang habis-habisan (Puputan) melawan Belanda pada tahun 1946.

Perjuangan tersebut meninggalkan kenangan yang mendalam bagi rakyat Bali, sehingga untuk mengenang jasa-jasanya didirikanlah monumen, nama jalan, nama lapangan terbang, dan sebagainya. Pemberian penghargaan atas jasa Beliau tersebut semata-mata karena Beliau telah memberikan tauladan kepada generasi muda dalam perjuangan membela kemerdekaan yang dilakukan tanpa pamrih. Perhatian pemerintah terhadap jasa para pejuang di Bali diwujudkan dengan dibangunnya sebuah monumen agung yang berlokasi di area Niti Mandala, Denpasar dikenal dengan nama Monumen Perjuangan Rakyat Bali.

Apa yang disajikan di dalam monumen ini, adalah untuk mengenang kembali seluruh perjuangan para pahlawan Bali sebelum maupun setelah kemerdekaan, diharapkan pula bahwa monumen ini juga akan memberikan manfaat dalam upaya meningkatkan apresiasi generasi muda dalam menghayati nilai-nilai patriotik yang ditunjukkan oleh para pahlawan yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dalam membela harga diri dan martabat bangsanya tanpa pernah mengharapkan balas jasa.

Yang membanggakan dari pembuatan desain Monumen Perjuangan Rakyat Bali ini adalah seorang generasi muda bernama Ida Bagus Gede Yadnya yang pada waktu itu statusnya masih mahasiswa pada jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Udayana Denpasar. Beliau berhasil memenangkan dan menjadi juara dalam sayembara pembuatan desain Monumen Perjuangan Rakyat Bali yang dilakukan pada tahun 1981 dengan menyisihkan para arsitek seniornya yang ada di Bali.

Setelah diadakan penyempurnaan rancangan dan gambar, pada bulan Agustus 1988 melalui anggaran Pemerintah Daerah Propinsi Bali dilakukan peletakan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan monumen. Setelah melalui berbagai hambatan dan cobaan karena terjadi depresiasi uang Rupiah di tahun 1997, akhirnya monumen ini dapat diselesaikan juga pada tahun 2001. Setelah itu, pembanguan masih dilanjutkan dengan pembuatan diorama yang menggambarkan sejarah kehidupan orang Bali dari masa ke masa. Selain diorama juga dibangun pertamanan untuk menambah keasrian dan kenyamanan monumen ini, yang secara keseluruhan dapat diselesaikan pada tahun 2003.

Pada tanggal 14 Juni 2003, bersamaan dengan Pembukaan Pesta Kesenian Bali ke- 25 tahun 2003, Presiden RI Megawati Soekarnoputri telah berkenan meresmikan Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Sejak saat itu monumen telah dapat dikunjungi oleh masyarakat umum.

 

THE BACKGROUND OF THE ESTABLISHMENT OF THE MONUMENT OF BALINESE STRUGGLE

Sporadic struggles for independence against the Dutch Colonial Government  emerged in most parts of Indonesia. The violent oppressions by the Dutch resulted  many rebellions in various dominions of kingdoms and sultanates under the Dutch colonialism. But unfortunately, the Dutch could easily suppress them by applying their divide et impera (divide and rule) tactic to break the strength of those kingdoms and sultanates by playing off against each other, between a king and the other, between the royal family and the king, the king and his people, and between people as well.

The long war experiences and also the more and more Indonesian youth got academic education had aroused the spirit of unity among various social strata and ethnic groups and the awareness to defend their country and to drive away the colonizers. It was initiated by a number of intellectual youths from various regions that on October 28th, 1928, for the firsttime, the Indonesian youth held a conference in which they declared the so called the Sumpah Pemuda or the Youth Pledge. They swore that they were of one mother country: Indonesia, one nationality: Indonesian, and of one language: Bahasa Indonesia or the Indonesian language. This declaration was simultaneously participated by many youth organizations from various islands and ethnics in Indonesia such as, Jong Java of Central and East Java, Jong Pasundan of West Java, Jong Minahasa of North Sulawesi, Jong Ambon of Maluku, Jong Celebes of Sulawesi, Jong Madura, Jong Sumatranen, Jong Batak of Batak ethnic group, etc which later on resulted an idea to form the Jong Indonesia to accomodate all ethnics in Indonesia.

This spirit of Sumpah Pemuda has also awakened various youth organizations in Indonesia.One well-known organization, among others, is Sarekat Islam, which was originally as a mere religious movement, then developed into the first popular movement in Indonesia, then the Indische Partij party which also moved in politics. At that time on the island of Java nationalist figures emerged such as dr. Soetomo, HOS. Cokroaminoto, Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantoro), Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, Agus Salim, Soekarno, Muhammad Hatta, and so on. Their pioneering work eventually also inspired other regions to do the same, namely to unite the regions in expelling the Dutch occupation, one of which was a struggle carried out by the Balinese people.

Bali Island is one of the bases of the struggle against the Dutch, among which the famous is the Jagaraga War of 1848-1849 in Buleleng, the Kusamba War of 1849, the Banjar People’s Resstance in 1868, the Puputan Badung War of 1906 launched by the King of Badung, Puputan Klungkung in 1908 and also the Puputan Margarana War in the Marga Village of Tabanan conducted by Liutenant Colonel I Gusti Ngurah Rai along with Laskar Ciung Wanara who had waged in all-out war (Puputan) against the Dutch in 1946.

The struggle performed by I Gusti Ngurah Rai has left deep memories for the people of Bali, so as to commemorate his services, a monument, street name, airport name, and so on were erected. The awarding of his services is solely because he has set an example to the younger generation in the struggle for independence which is done unconditionally. The government’s attention to the services of the fighters in Bali was realized by the construction of a grand monument located in the Niti Mandala area, Denpasar known as the the Monument of Balinese Struggle.

What is presented in this monument is to recall all the struggles of the Balinese heroes before and after independence. It is also hoped that this monument will also has some benefit in an effort to increase the appreciation of the younger generation in living up to the patriotic values demonstrated by the heroes who sacrifice all his body and soul in defending the dignity of his people without ever expecting retribution.

The monument was designed by Mr. Ida Bagus Gede Yadnya, a young man who was at that time was a student in the Department of Architecture, Faculty of Engineering, Udayana University, Denpasar. He succeeded in winning and becoming a champion in the design competition of the the Monument of Balinese Struggle which was carried out in 1981 by setting aside his senior architects in Bali.

After the design and drawing improvements were made, in August 1988 through the budget of the Provincial Government of Bali a groundbreaking was carried out, as a sign of the start of the construction of the monument. After going through various obstacles and trials due to the depreciation of the Rupiah in 1997, finally this monument could be completed also in 2001. After that, the development was continued with the making of dioramas that depicted the life history of the Balinese from time to time. In addition to the dioramas, a park was also built to add the beauty and comfort of this monument, which as a whole could be completed in 2003. On June 14, 2003, in conjunction with the Opening of the 25th Bali Arts Festival in 2003, Indonesian President Megawati Soekarnoputri had the pleasure of inaugurating the Monument of Balinese Struggle. Since then the monument has been officially opened for public.