Translate

April 16, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

“Kilang”, Teater 3 Beber Kisah Cinta Made Saratu dan Dayu Priya

Teater 3 SMA Negeri 3 Denpasar menampilkan sesolahan berjudul “Kilang” serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali 2020 di Panggung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu (5/2). Kilang yang berarti cinta yang hilang, merupakan kisah cinta I Made Sarati dan Dayu Putu Priya ketika melancaran ke Sasak. Kisah itu disadur dari  sebuah Novel berbahasa Bali karya I Wayan Bhadra dengan nama pena Gde Srawana tahun 1978.

Sesolahan teater berdurasi 1,5 jam itu didukung sebanyak 12 pemain inti, dan 28 tim crew yang terdiri dari pemain musik, vocal dan stage crew. Dalam penyajiannya, para pemain berdialog secara langsung dengan menggunakan bahasa Bali. untuk memberikan suasana dalam setiap adegan, music pengiringnya menggunakan perbaduan antara music, seperti suling, gangsa, jembe kecil, gitar dan alat muasik lainnya. “Walau memakai music, tetapi tidak semua adegan ada musiknya. Itu karena kami ingin menonjolkan dialog pemain, dan mendukung suasana pada adegan tertentu saja,” kata Pimpinan Produksi I Komang Nara Dhananjaya, usa pentas.

Dhananjaya yang juga berperan sebagai penggarap dan penyadur mengatakan, teater ini sesungguhnya karya bersama, sebab setiap pemain juga turut mengekplor judul atau ceritera yang diangkat. Walau demikian, untuk menentukan pemain itu diawali dengan melakukan casting, sehingga benar-benar mendapatkan pemain yang mampu menjiwa peran. “Dalam proses penggarapan, semuanya terlibat. Semua pemain mengeksplor cerita itu, yang diawali dengan membaca novel itu secara cermat,” paparnya.

Putu Ivan Bagaskara selaku sutradara mengaku, untuk mewujudkan sesolahan teater ini pihaknya melakukan latihan selama dua minggu. Menampilkan sesolahan teater berbahasa Bali lebih sulit dari pada yang berbahasa Indonesia. “Jujur, kami memerlukan waktu latihan lebih banyak karena menggunakan Bahasa Bali. Sulitnya, ketika mencari dialek yang pas, semisal dialek orang Bali, bahasa Bali alus, dan bahasa Bali lumrah. Belum lagi menyesesuaikan dengan logat Sasak dan orang Jawa untk peran yang bekerja di penginapan itu,” beberanya.

Teater itu mengisahkan, seorang pemuda bernama I Made Sarati yang berteman sekaligus sebagai abdi dari Dayu Puti Priya. Pria ganteng dan rendah hati itu sudah berteman sejak lama, ketika mereka belajar di Bandung. Perkenalan mereka berawal dari ringan tangan Made Sarati kepada Dayu Priya. Saat itu, ketika hujan lebat, Dayu Priya kecelakaan ditabrak yang hampir terlindas mobil. Saat Made Sarati melihatnya, ia kemudian membantunya. Atas bantuan itu, Dayu Priya merasa berhutang budi. Hal itu membuat perteman mereka setia sampai sekarang.

Pada suatu hari, Made Sarati dan Dayu Priya jalan-jalan atau berwisata ke Sasak. Mereka ditemani satu abdi perempuan bernama Luh Sari. Mereka bertiga kemudian menumpang kapal laut untuk bisa menyeberang ke Sasak. Mereka bertemu dengan penumpang kapal yang sangat banyak. Penumpang itu terdiri dari nyonya-nyonya, tuan-tuan, anak alit, anak kelih dan dari masyarakat biasa. Mereka berlayar hingga malam. Berbagai ceritera lahir dari mulut mereka. Ada yang mengatakan capek, sedih, dan ada yang bercanda sambil tertawa.

Setelah sampai di Sasak mereka menginap di Pasanggrahan Suranadi. Dalam persahabatan itu, kemudian muncul getar cinta. Namun saya, orang tua Dayu Priya yakni Ida Bagus Kumara ingin menjodohkan Dayu Priya dengan Ida Kade Ngurah Warmadewa dari Geria Sunia. Dayu Priya tidak menyukai Ida Kade Ngurah memang tidak ada rasa padanya. Walau tidak sampai pada pernikahan, namun cinta mereka setia hinggta tak tergantikan. (*)