Translate

April 29, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Banyak Memuat Pesan Pentingnya Menjaga Kelestarian Air

DENPASAR – Kosakata dalam bahasa Bali, mulai dari aksara hingga wacana, sangat banyak yang berbicara mengenai air (toya, yeh, wa, tirta). Hal itu sejatinya menegaskan bahwa peradaban manusia Bali di masa lalu sangat erat dan dekat dengan keberadaan air.

Hal tersebut diungkapkan Putu Eka Guna Yasa, SS, M.Hum dosen Universitas Udayana (Unud) selaku narasumber dalam widyatula (seminar) “Widya Basa (Ekolinguistik) Toya” pada Senin (7/2) yang berlangsung secara daring. Seminar serangkaian Bulan Bahasa Bali IV Tahun 2022 ini juga menghadirkan narasumber Dr. Ketut Paramarta, dosen Undiksha Singaraja, dengan moderator Dr. I Ntoman Suwija, M.Hum.

Guna Yasa memaparkan, ekolinguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari keterkaitan (linguistik) dan lingkungan (ekologi). Tujuan utamanya adalah supaya bisa meminimalkan perilaku negatif yang dapat merusak atau mencemari lingkungan, sebaliknya dapat meningkatkan perilaku yang mengupayakan pemeliharaan terhadap lingkungan. “Dengan mendiskusikan bahasa yang utama berkaitan dengan air, tentu akan mampu membangun kesadaran untuk tidak berbuat atau berperilaku yang dapat mencemari air,” ujar Guna Yasa.

Dia menguraikan, berbagai pustaka lontar seperti Parama Tattwa Suksma, Tutur Aji Saraswati, dan Tutur Tirta Kamandalu memuat bahwa ada aksara yang menjadi simbol air. Dari pustaka itu dapat diketahui, keberadaan aksara sebagai simbol air tersebut terbagi ke dalam bentuk aksara wreastra swalalita, bijaksara, dan modre.

Menurut Geguritan Parama Tattwa Suksma, di dalam wreastra, aksara yang menjadi simbol air adalah suku kembung. “Suku kembung jika dicari asal bangun aksaranya adalah Wa. Asal kata Wa itu di dalam Tantrayana disebut Jala Tattwa,” ujar Guna Yasa yang dalam seminar ini membawakan makalah “Jala Wyakarana: Kosabasa Basa Bali Pinaka Pangendag Budi Cita Ngraksa Toya”.

Di dalam swalalita, lanjutnya, aksara yang menyimbolkan air tiada lain aksara U kara. Simbol air dengan U Kara umum dipahami berkaitan dengan Tri Aksara yakni A sebagai simbol api (Bhatara Brahma), U sebagai simbol air (Bhatara Wisnu), dan Ma sebagai simbol angin (Bhatara Siwa). “Selain di dalam aksara swalalita, ada juga air yang disimbolkan dengan aksara bijaksara. Geguritan Parama Tatwa Suksma dan Tutur Sang Hyang Aji Saraswati menyebutkan bahwa air disimbolkan dengan bijaksara Ah,” tuturnya.

Yang terakhir, leluhur Bali juga menyimbolkan air dengan bentuk aksara modre. Pustaka Tutur Tirta Kamandalu yang berisikan tentang keberadaan aksara modre yang melambangkan air, hujan, danau, laut, dan lainnya. Aksara-aksara modre tersebutlah sebagai sarana yang akan dipakai oleh orang yang ingin melakukan nerang (menghalau hujan).

Lebih lanjut Guna Yasa mengatakan, akar kata yang berkaitan dengan air juga terdapat dalam berbagai kosakata bahasa Bali seperti warih, we, luwah, dan lainnya. Selain itu, karena asal kata yang berkaitan dengan air adalah Ah, maka kemudian terbentuk berbagai kata yang berarti atau berkaitan dengan air seperti yeh, apah, banyeh, kayeh, peceh, peluh, panyuh, baseh, enceh, kuah, loloh, maceceh, wangsuh, pasih, seduh, dan lainnya.

Kalimat-kalimat yang berkaitan dengan air juga banyak dipakai dalam pergaulan orang Bali yang ditemukan dalam ungkapan atau peribahasa. Peribahasa-peribahasa yang menggunakan kata yeh (air) antara lain buka yehe di don candunge; buka nyuwun yeh mawadah jun, abedik embuhan misi nglencok; buka masuluh di yehe puek; buka nulisin yeh, tusing matampak angan gigis. Ada pula pribahasa buka kecoran yeh pancoran matatakan batu, ane di sampingne maan kripisan; buka pajalan yehe, dija lebah ditu lakuna membah; dan lainnya.

Demikian pula wacana tentang keutamaan air banyak ditemukan dalam karya sastra Bali dan Kawi. Beberapa di antaranya pustaka berjudul Mosala Parwa, Rogha Sanghara Gumi, Geguritan Tirta Yatra milik Puri Agung Denpasar-Bangli, Geguritan Bali Tattwa yang menceritakan perjalanan Ida Resi Markandeya di Bali, dan lainnya. Misalnya dalam Geguritan Tirta Yatra, berbicara beragam tempat tirta yatra, tentu tujuannya untuk menghilangkan kekotoran dan mala di badan secara sakala-niskala. Dalam geguritan itu juga berbicara keindahan dan keasrian kondisi alam di sungai tempat petirtaan tersebut. “Itu berarti bahwa sungai dan tempat petirtan yang hening adalah lanskap estetik yang sepatutnya selalu dirawat. Namun kenyataannya sekarang, banyak sungai yang tercemar, bangunan beton berdiri, sehingga mengurangi keindahan lanskap estetik tersebut,” katanya.

Guna Yasa menambahkan, Pemprov Bali pun sudah mengeluarkan Pergub No. 24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut. Tujuannya adalah agar masyarakat Bali menjaga keberadaan sumber-sumber mata air agar tetap lestari dan asri. Menurutnya, upaya-upaya tersebut harus didukung bersama. “Oleh karena itu, sastra yang berpesan akan pelestarian air patut untuk terus disebarluaskan, dikampanyekan kepada segenap masyarakat Bali, supaya semakin tumbuh kesadarannya untuk menjaga air. Apabila air di bumi ini terjaga, tentu air yang ada di badan manusia juga dapat menghidupi. Sebaliknya, apabila air di bumi tercemar, tentu juga air yang masuk ke badan akan meracuni diri,” katanya.

Sementara itu, Ketut Paramarta dalam seminar ini menyajikan materi berjudul “Krakah (etimologi) Basa Toya: Teges miwah Suksmanyane Makapakerti Ngardi Jagadita”. Dia mengatakan, pemerintah telah mengeluarkan Perda Bali No. 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali. Melalui seminar ini diharapkan dapat semakin meningkatkan pemahaman bagi penutur bahasa Bali tentang keutamaan berbahasa Bali sehingga pemakaian bahasa Bali semakin berkembang.

Paramarta mengungkapkan, air sangat erat dengan perkembangan kebudayaan manusia. Keberadaan air tidak tergantikan dalam kebudayaan dan lingkungan. Berkaitan tema Bulan Bahasa Bali tahun ini, dia menjelaskan, UNESCO dalam peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional pada tahun 2019 lalu juga mengambil tema tentang air, yang diangkat dari peribahasa Cina, “When you drink water, think of the source ~ Saat Anda minum air, pikirkan sumbernya.” “Toya atau dalam bahasa purwa waSiR yang kemudian berkembang menjadi bermacam-macam kosakata dalam berbagai rumpun bahasa Austronesia menjadi bukti bahwa air merupakan sesuatu yang purba dan mendasar dalam bahasa dan kehidupan manusia,” katanya.