Translate

April 23, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Asyiknya Megenjekan Iringi Tradisi Cakepung di PKB XLIV

DENPASAR – Setiap kabupaten/kota memiliki kesenian khas masing-masing. Tak terkecuali Karangasem dengan kesenian khasnya, Cakepung. Kesenian ini dihadirkan oleh Sanggar Seni Citta Wistara, Banjar Dinas Tri Wangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu (6/7/2022) sore.

Tradisi Cakepung menonjolkan olah vokal dan seni tari. Tak lupa diiringi dengan lantunan musik rebab dan suling, serta gamelan khas Karangasem bernama penting. Penampilan mulanya diawali dengan membaca cakepan lontar dan diartikan oleh seorang pengartos. Lambat laun, suasana kemudian ramai oleh puluhan orang yang megenjekan untuk mengiringi jalan cerita sendratari yang akan diambil. Antara megenjekan, alunan musik, penari dan dalang sebagai pengantar cerita menyatu dalam penampilan tersebut dan mendapat apresiasi dari penonton.

Adapun ringkasan cerita yang dibawakan, tersebutlah tiga orang raja bersaudara, masing-masing menjadi raja di Indrapandita, di Layangsari, dan di Indrasekar. Raja di Indrapandita mempunyai sembilan putri dan paling bungsu putri paling cantik bernama Diah Winangsia. Putri ini sering difitnah oleh kakaknya sehingga raja marah dan mengasingkannya di taman dengan ditemani inang pengasuhnya yang bernama Inaq Rangda.

Sementara itu raja di Indrasekar mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Raden Kitap Muncar, yang bungsu bernama Raden Witarasari (Raden Una). Mendengar kesengsaraan yang diderita oleh Diah Winangsia, maka Raden Una menuju ke Indrapandita dengan menyamar sebagai seekor kera/monyet. Kemudian sang kera menghambakan diri kepada Diah Winangsia serta berusaha menolong keluar dari berbagai kesulitan dan kesenangan yang dialami.

Kehidupan seekor monyet dengan seorang gadis remaja cantik, tidur bersama, pergi mandi bersama, bermain bercanda, menjadikan kisah cerita dibagian ini menarik. Setelah beberapa lama berlangsung kedok penyamaran Raden Una diketahui oleh Diah Winangsia, akhirnya Raden Una menjelaskan bahwa dia mencintai Diah Winangsia dan hidup berbahagia di kerajaan tersebut untuk menggantikan ayahnya.

Koordinator Pementasan Cakepung, Ida Made Basmadi menyampaikan, Tradisi Cakepung memiliki sejarah yang sangat erat dengan keberadaan Suku Sasak di Lombok, yaitu saat keberhasilan Kerajaan Karangasem memberikan pengaruhnya ke Lombok. “Sekilas sejarahnya berasal dari sejarah pada saat kerajaan Karangasem berhasil pengaruhnya sampai ke Sasak, Lombok. Kemudian dengan keberhasilannya Suku Sasak tersebut, budayanya pun dipelajari di sana. Ada budaya Sasak disebut dengan cepung,” ungkapnya.

Budaya yang didapatkan di Lombok itu tidak serta-merta dibawa langsung ke Karangasem. Namun dari leluhurnya terdahulu mengubah tradisi cepung tersebut dengan memasukan seni suara. Salah satunya adalah macepat, seperti pupuh sinom, semarandana dan lain sebagainya. “Leluhur kami almarhum Ida Wayan Tangi mengubah cepung itu dengan memasukan dengan macepat. Sehingga cakepung merupakan dari cakep lontar, kemudian diisi dengan tempo pong. Itu versi saya, namun banyak yang menafsirkan cakepung dari peperangan. Yaitu pacek dan kepung yang berarti diserang,” imbuhnya.

Musik yang dipakai pun saat ini sudah dikembangkan. Dulunya hanya mengandalkan suara dan suling. Bahkan sulingnya pun memiliki ciri khas tersendiri, dimana lubangnya hanya lima. Termasuk para penarinya juga sekarang masih memerlukan generasi yang baru. Bahkan yang ingin menekuni setidaknya gemar untuk menari dan mempertahankan tradisi Cakepung itu sendiri.

“Saat ini ada yang ditampilkan sebanyak 36 orang. Cakepung itu sendiri seni suara mulut dan alat musik. Sisanya para penari, secara umum penggaliannya ini menjadi kendala karena beberapa dari pada anggota Cakepung terdahulu sudah menjadi sulinggih. Ini generasi ke sekian,” bebernya.

Ida Basmadi menambahkan dalam pementasan ini hampir full olah vokal. “Sehingga saat pentas maupun latihan yang penting ada air. Kami pentas selama 1,5 jam lebih terus mengeluarkan vocal. Maka itu bisa dikatakan tantangan pemain cakepung,” imbuh Basmadi.

Dalam kesempatan tersebut, Ida Made Basmadi menambahkan pelestarian seni Cakepung saat ini tetap bertahan di Desa Budakeling. Secara turun -temurun pelestariannya dan dipentaskan di Budakeling ketika ada hajatan atau ada upacara hajatan seperti naur sesangi. “Ada juga digunakan naur sesang Seperti upacara bayi yang kepus puser atau yang berumur 12 hari. Kemudian pada saat upacara manusa yadnya, termasuk pada pitra yadnya di tempat orang meninggal. Ada orang begadang atau yang disebut dengan magebangan saat orang meninggal itu juga bisanya dipentaskan cekepung ini,” terangnya.

“Kalau di pura juga sempat, saat orang yang membayar kaul dengan mementaskan Cakepung di salah satu pura di wilayah Ababi,” tegas Ida Wayan Basmadi.

Dia juga mengatakan secara umum klasifikasi Cakepung ini dalam balih-balihan. Namun menurutnya saat ini masih abu-abu, sebab di dalam pementasannya masih masuk unsur lontarnya.

“Lebih ke sosial masyarakat interaksi bergaul ketika salah satu keluarga punya hajatan. Di sana tempat sanak keluarga berkumpul, otomatis mementaskan tradisi Cakepung itu sendiri,” kata Basmadi.*