Talenta Anak dalam Lomba Menggambar ‘Satua’ Bali Membanggakan
DENPASAR- Kurang dari dua jam, anak-anak setingkat SD ini sudah menyelesaikan seket gambar, bahkan banyak yang sudah memberi warna. Ide gambarnya sangat beragam, goresannya lugas dan kreatif. Warnanya sangat berani, penuh gradasi serta sangat kuat dan terkesan hidup. Karya seni yang dibuat itu, tak hanya indah, tetapi juga menarik.
Pengunjung yang hadir tak merasa bosan, sebab dalam sekejap mereka sudah dapat menyaksikan hasil karya seni yang tak hanya indah, tetapi juga penuh dengan nilai-nilai kejujuran, sopan santun dan tanggung jawab.
Itulah suasana Wimbakara (Lomba) Ngambar (menggambar) Satua Bali serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali (BBB) ke-5 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (4/2/2023). Lomba ini melibatkan sebanyak 50 peserta dari siswa-siswi setingkat Sekolah Dasar (SD) dengan mengangkat tema sesuai Bulan Bahasa Bali, yakni ‘Segara Kerthi, Campuhan Urip Sarwa Prani’. Dari tema itu, para peserta bisa mengangkat satua (cerita) rakyat yang pernah didengar, baik dari orang tua ataupun berdasatkan wawancara.
Dewan juri, Dr. Drs. I Wayan Karja, MFA mengatakan, lomba ngambar satua Bali ini sangat menarik. Sebelumnya satua Bali hanya disampaikan secara lisan sebelum tidur, tetapi disampaikan melalui gambar. Terjemahan cerita dalam bentuk visual gambar ingatan akan lebih kuat, dan tidak hanya didengar lalu hilang. Apalagi, gambar itu ditempel didinding yang bisa dilihat dan diamati secara terus menerus, sehingga pengetahuan itu terus melekat. “Ini cara pengembangan potensi dan talenta anak melalui membuat gambar satua,” ucapnya.
Ngambar Satua Bali merupakan kali pertama dalam perhelatan Bulan Bahasa Bali yang sudah memasuki tahun ke-5. Kegiatan ini, memberikan kesempatan anak-anak untuk betul-betul menghayati proses, mulai dari mengamati, mendengar, melihat atau mewawancarai dengan orang-orang sekitar. Dengan begitu, cerita itu akan menjadi lebih kaya, lebih melekat dan lebih cepat bisa diaplikasikan pada kehidupan sekarang ini. “Artinya, nilai-nilai seperti tata susila, kejujuran, sopan santu akan dimengerti oleh anak pembuat gambar ataupun yang menyaksikan gambar itu,” ungkapnya.
Sebab, peserta lomba ngambar kali ini tak hanya mengekspresikan ide-idenya melalui gambar, tetapi juga dilengkapi dengan tulisan yang menceritakan maksud dari gambar itu. Itulah yang membuat lomba ini menjadi luar biasa untuk di Bali. Esensi cerita ini memang menjadi satu cerita rakyat yang tak hanya di Bali, tetapi juga di Nusantara yang sangat beragam, termasuk di belahan dunia, sehingga pesertanya tak hanya siswa yang beragama Hindu, tetapi juga diikuti oleh anak-anak muslim, beragama Islam. “Peserta kali ini sangat antosias,” imbuh dosen ISI Denpasar Seni Murni itu.
Demikian halnya Dewan Juri, I Gede Gita Purnama, M.Hum yang lebih focus pada sastra dan materis satua itu. Sebab, visual satua oleh anak-anak itu penting. Selama ini yang membuat visualisasi dari DKP, guru dan orang profesional, sehingga karya-karya sangat profesional. “Sekarang anak-anak yang membuat visual satua, mereka juga memberi imajinasi lalu dinikmati oleh anak-anak, sehingga hasilnya akan lebih mengena, karena masih dalam dunia anak. Maka lomba seperti ini perlu mendapat apresiasi dan dilanjtkan,” ucapnya.
Selama ini yang menyiapkan cerita anak itu orang dewasa. Anak-anak hanya menikamti, sehingga terkadang tidak nyambung. Sekarang ini anak-anak yang membuatnya, dan juga untuk anak-anak. Imajinasinya anak-anak, dibaca oleh anak-anak, sehingga lebih nempel. “Walau tak melakukan risert secara khusus, tetapi anak-anak biasanya mampu memvisualkan melalui kreativitasnya sendiri. “Sejauh mana mereka memvisualisasikan satua itu, maka penafsiran anak itu tak akan disalahkan. Mereka bisa saja membuat ayam berwatna unggu, katak yang tak sesuai dengan katak yang ada di Bali. itu tak salah, karena menjadi bagain dari kreatisvitas mereka. (*)