Translate

April 18, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Post-Truth Kritik Cara Berpakaian Adat Di Jaman Global

 

 

Gundah terhadap fenomena generasi muda dalam  berpakaian adat Bali, Komunitas Solah Pat sajikan garapan tari kontemporer bertajuk Post-Truth di Kalangan Madya Mandala, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (2/11). Pentas seni serangkaian dengan Festival Seni Bali Jani 2019 itu, komunitas yang beralamat di Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung itu mengajak masyarakat, khususnya generasi muda untuk ingat pentingnya busana adat Bali. “Dalam berbusana, anak-anak muda sekarang ini terkesan mengikuti jaman, lupa akan makna yang terkandung didalamnya,” kata I Made Angga Rai Dwi Valguna, usai pentas.

Post-Truth yang memiliki arti Pasca-Kebenaran sengaja diangkatnya karena sesuai dengan penggunaan busana adat di jaman sekarang ini. Nilai-nilai kebenaran dari busana adat itu mulai digoyahkan oleh kebeneran setiap individual yang memakainya. “Generasi muda sekarang terkesan hanya mementingkan fashion semata, dan Pasca-Kebenaran menggambarkan pola pikir seseorang dijaman sekarang  yang mengikis rasa social,” ungkap pemilik dan Ketua Komunitas Solah Pat ini.

Garapan tari yang didukung 7 penari cewek dan 8 penari cowok itu, mengupas tema Hulu-Teben itu dengan mengulur kembali kemasa lalu. Orang-orang Bali jaman terdahulu sudah menyimpulkan pakaian adat itu seperti apa bentuknya dan masing-masing ada nilainya. Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan pengaruh globalisasi, sehingga terkesan mementingkan fashion saja. “Bali memiliki beragam busana adat sesuai dengan desa kala patra. Maka, tidak bisa mengklaim ini busana yang benar atau itu yang salah. Nah, disini saya hanya menginngatkan dalam berbusana adat itu harus sadar apa yang terkandung dalam busana adat itu. Kami ingin melahirkan pikiran yang jernih murni, focus dan iklas,” sebutnya.

Angga demikian sapaan akrabnya mengatakan, di jaman globalisasi ini, orang lebih banyak mengikuti perkembangan jaman yang hanya mementingkan keindahan saja. Fashion dan penampilan menjadi hal utama, namun melupakan makna dan nilai dari pakaian adat itu sendiri. Lihat saja, stail berbusana adat kamen (kain) yang mulai ramai dengan stail yang beragam.  Begitu pula dengan pemakain udeng (pengikat kepala) . “Padahal, kostum dan pakain adat Bali itu memiliki nilai tersendiri,” imbuhnya.

Angga kemudian mencontohkan dalam membuat udeng, diiket didepan, lalu ujung ikatnnya ke atas. Demikian pula dengan kancut untuk busana laki-laki, ujung kancut itu mesti menyentuh tanah, termasuk pula pada busana adat Bali lainnya. “Semua itu, kami tunjukan dan kupas dalam garapan kontemporer ini. Dalam koregrafi karya ini, kami mengadopsi dari beberapa gerakan cara mekamen, membuat udeng dan cara memakai selempot. Semua itu diadopsi dari makna atau filosofi busana adat itu sendiri. Kami dalam menyampaikan kepada penonton, tetap menggunakan penjiwaan (rasa)  tari Bali, sehingga ketradisiannya masih tampak kuat meski disajikan dalam bentuk tari kontemporer,” beber pria kalem ini.

Walau mengangakat cara masyarakat Bali berbusana adat Bali, namun dalam penyajiannya sangat menarik. Para penari itu, bukan memperagakan cara berbusana adat Bali yang mentah, melainkan mengolahnya dalam gerak ritmis yang indah. Olah tubuh, kelenturan gerak serta penjiwaan dari setiap gerak itu juga tampak jelas, sehingga yang ada benar-benar sebuah tari, bukan pantomime biasa. “Saya menggunakan gerak-gerak yang sudah distilirisasi dengan memberikan sebuah motifasi gerak kepada penari sesuai dengan alur konsep karya, sehingga tercipta sebuah koregrafi yang terkesan simbolik, menarik ditonton dan tidak terkesan monotun,” jelasnya.

Selain keindahan, nilai-nilai dan simbol-simbol dalam busana adat Bali itu dipertegas. Sebut saja dalam menutup ujung kain untuk busana adat Bali laki-laki itu yang terletak di sebelah kanan. Walau terkesan baru, tetapi karya itu tidak mengklaim hasil gerak ciptaannya sendiri. “Gerakan itu memang sudah ada karena saya hanya mengadopsinya dari kegiatan kita sehari-hari namun saya kembangkan dan stilirisasi kembali, sehingga mengganggap karya ini sebuah inovasi baru saja,” akunya polos. (*)