Translate

May 5, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Ingatkan “Tumpek Wariga” Sanggar Kelanguan Sampaikan Pesan Jaga Kelestarian Hutan

“Kaki kaki, i dadong kija, bin selai lemeng lakar Galungan, apang mebuah nged… nged…” Pernah mendengar barisan kata-kata itu? Itulah yang diingatkan kembali kepada masyarakat melalui garapan seni berbentuk Drama Teater ini. Garapan seni bertajuk “Kaki Kaki I Dadong Kija” itu disajikan oleh Sanggar Kelanguan serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 yang bisa disaksikan melalui chanel YouTube Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.
Drama Teater ini memberikan sedikit pengingat kepada masyarakat bahwa penting selalu menjaga kelestarian hutan beserta isinya. Pesan itu dikemas dengan seni yang sangat atraktif, namun tetap berpatokan pada pakem-pekem seni tradisi. Pemilihan gamelan sebagai iringan sangat pas, sehingga mendukung suasana yang ada. Iriangannya berupa gamelan gender, slonding dan tembang. Walau menggunakan iringan berupa gamelan tradisi, namun dalam penyajiannya sangat mendukung gerak penari dan acting pemain. Garapan seni berdurasi 45 menit ini didukung oleh seniman-seniman handal dalam bidang seni tari, dalang dan karawitan.
Kisahnya, diawali dari seorang pria tua mirip seorang dalang. Pria tua itu tidak disebutkan nama dan asalnya secara pasti. Ia memaparkan kisah tentang penciptaan dunia oleh Sanghyang Adi Suksma. Beliau beryoga lalu mencipta hingga sampai tujuh fase. Ciptaan Sanghyang Adi Suksma yang ketujuh (pitung Ksana) berupa sarwaning maurip, sarwaning meletik (segala mahluk hidup) yaitu Wong (manusia), Sato (berbagai bunatang), Mina (berbagai ikan), Manuk (berbagai burung, Taru (berbagai tumbuhan), dan Buku (berbagai jenis tumbuhan yang berbuku).
Berikutnya menceritakan kisah inti dari ide garapann, yaitu tentang tumbuh-tumbuhan. Ida Sanghyang Adi Suksma memerintahkan Ida Sanghyang Sangkara untuk menjaga hutan, mengolah tumbuhan sesuai dengan fungsi dan manfaatkanya. Sanghyang Sangkara kemudian bersemedi untuk menjaga hutan dan lingkungan. Dalam adegan ini, disampaikan pesan, bahwa sangat penting tumbuh-tumbuhan itu bagi kehidupan manusia. Tanpa pohon dan hutan maka akan selalu ada tanah longsor, banjir, kepanasan bahkan kebakaran.
Kisah selanjutnya di sebuah desa yang sedang membuat sesajen untuk persembahan saat hari suci Tumpek Wariga. Ibu-ibu yang tengah mempersiapkan upacara tersebut, tampak akrab sambil bercengkrama. Mereka saling melengkapi dalam membuat sesajen sekaligus melestarikan warisan leluhur. Sementara, anak-anak sedang asyik bermain handpone. Mereka, tidak mau membantu ibunya. Sang ibu marah, kemudian terjadi saling menyalahkan. Sang kakek kemudian mendam,aikan, lalu menceritakan makna Tumpek Wariga ini penting dirayakan.
Disana juga muncul pecalang sebagai Jaga Baya. Apalagi, dimasa Covid-19 ini, agar tidak ada keramaian, menjaga jarak dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Warga lain ngobrol masalah pembuatan banten. Dalam suasana itu, ada pesan, kritik dan saran. Salah satunya contohnya, penggunaan semat yang tidak ada lagi karena sudah memakai kacip. Walau itu sebagai upaya penyederhanaan, tetapi bukan ngaturang semat yang datangnya dari pohon dari ciptaan Tuhan.
Pada bagian selanjutnya, masyarakat menggelar ritual tentang upacara Tumpek Wariga. Ibu-ibu bersama warga lainnya menyiapkan segala perlengkapan upacara. Seorang pemangku yang memimpin upacara. Dalam prosesi upacara itu, disebutkan “Kaki kaki i dadong kija, bin selai lemeng Galungan apang mabuah nged…nged….”.
Dalam prosesi upacara itu, lalu muncul Sanghyang Sangkara memberikan anugrah, pohon itu berbuah. Proses berbuahnya pohon itu digambarkan dalam bentuk tari pohon, dimana para penari menggunakan kostum dari daun-dauanan. Para penari itu berhiaskan kostum dari pohon-pohon dibarengi dengan kesenian Nongnongkling yang ada tokoh Subali dan Sugriwa atau wenara lainnya bermakna, bahwa kera selalu hidup di hutan, dan hutan identik dengan tumbuh-tubuhan. Nongnongkling itu menggunakan busana dari alam, seperti ambu, prakso, dan tapel dari kayu.
Penggarap Kadek Widnyana mengatakan, garapan ini ingin menekankan upacara Tumpek Wariga itu bukan saja sebagai upacara pada pohon, tetapi juga ngotonin diri sendiri. Karena, manusia makan buah dan tumbuhan, itu adalah pohon pada diri sendiri. “Artinya, upacara ngotonin dalam makro kosmos alam Bhuana Agung juga ngotonin pada tubuh kita Bhuana Alit yaitu ngotonin diri sendiri, sehingga tumbuhan yang ada di Bhuana Agung dan Bhuana Alit menjadi seimbang,” katanya.
Ketua Sanggar Kelanguan ini memaparkan, garapan ini untuk ikut memeriahkan Bulan Bahasa Bali dengan tema “Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahotatama”. Tema ini sangat sesuai dengan ide garapan yaitu Tumpek Wariga. “Saya kebetulan memiliki cerita sendiri yang masih terkait dengan tema Bulan Bahasa Bali yaitu Tumpek Wariga. Sebuah tradisi otonin tumbuh-tumbuhan yang ada ciri khasnya. “Tumpek Wariga adalah Kearifan Lokal Budaya Bali, agar kita selalu melestarikan alam lingkungan,” terangnya.
Jadi prosesi ini digarap kedalam bentuk karya seni Drama Teater. Tumpek Wariga itu, merupakan kearifan lokal budaya Bali yang mengajak orang agar selalu melestarikan alam lingkungan. “Disitu ada konsep Tri Hita Karana yang salah satunya menjaga lingkungan. Lingkungan ini penting dijaga, karena di jaman sekarang ini ada banyak bencana dimana-mana. Semua itu, kuncinya adalah pohon. Jika tidak ada pohon maka longsor akan terjadi,” tegasnya. (*)