Translate

May 5, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Bendesa Duta Badung, Juara I Wimbakara ( Lomba) Pidato Se- Bali

Keseruan Wimbakara (lomba) Pidarta Basa Bali serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 Tingkat Provinsi Bali berlangsung, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Denpasar, 17 Februari 2021. Pasalnya, peserta yang tampil merupakan para penglingsir desa pakraman, yaitu jro bendesa adat yang diutus mewakili kabupaten kota se -Bali.
Dengan format kegiatan lomba menerapkan prokes ketat dan terbatas lomba pidato diikuti oleh 7 peserta dari 9 Kabupaten Kota di Bali , masing -masing, Kabupaten Klungkung, Badung, Gianyar, Karangasem, Bangli, Buleleng dan Kota Denpasar, sedangkan dua kabupaten yakni Tabanan dan Jembrana tahun ini tidak mengirimkan dutanya.
Dan Jro Bendesa asal Mengwitani mewakili Kabupaten Badung atas nama I Putu Wendra sukses sebagai jayanti (pemenang ) meraih Juara I. Disusul Jro Bendesa wakil Kota Denpasar A.A Ketut Oka Adnyana menempati Juara II dan wakil Karangasem Jro Bendesa Wayan Suarna meraih Juara III.
Kelihaian para bendesa menggunakan bahasa Bali sejatinya telah teruji. Dimana seorang jro bendesa dalam keseharianya berhadapan dengan kegiatan adat dalam tata bahasa sor singgih, anggah ungguhing basa harus dikuasainya. buktinya, ketika tampil di atas panggung, kemampuan para bendesa baik, tata basa, tetekes atau intonasi suara tak diragukan lagi. Dewan Juri pun mengaku berat memberikan penilaian, karena rata-rata kemampuan basa Bali jro bendesa cukup bagus.
Tim Dewan Juri yang terdiri dari Dr. Drs. I Wayan Sugita, M.Si., Dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Denpasar, I Wayan Jatiyasa, S.Pd., M.Pd., Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura dan Dr. Drs. Anak Agung Gde Putera Semadi, M.Si., Dosen Universitas Dwijendra mengakui kemampun para bendesa dalam menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar semuanya bagus.
Hanya saja, teknik penyampaian pidato yang perlu dipahami. ” Pidato adalah seni berbicara, ada perbedaan antara pidarta dan dharmawecana. Hal itu harus jelas dipahami, karena esensinya memang berbeda. Kalau pidarta bagaimana pembicara harus mampu mempengaruhi, mengajak dan bahkan memprofokasi audient dari mereka tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan dharma wacana tujuannya jelas, yaitu menyampaikam materi agama agar bisa tersampaikan ke pendengar,” jelas Wayan Sugita yang juga tokoh drama gong itu.
Pemeran Patih Agung itu menekankan agar para jro bendesa mampu melestarikan bahasa Bali di masing-masing Desa Pakraman.” Saya mengajak agar para tokoh adat, untuk terus melestarikan bahasa Bali, mengajak kaum milineal mendalami bahasa, aksara dan sastra, semoga nglimbak di masyarakat,” saranya.
Hal senada disampaikan dewan juri lainya A.A Gde Putera Semadi, M.Si., yang sangat mengapresiasi kegiatan lomba pidato bahasa Bali ini. ” Dalam lomba pidarta basa Bali ini, saya melihat semua sudah memenuhi kriteria, baik tema, penampilan, tata busana, tata anggah ungguhing basa, dan pesannya, yang harus sesuai dengan tema yang ditetapkan, mulai pemabah ( pembuka), pengaksama ( penyambutan), daging (isi) pangarsa (penutup) sudah terpenuhi,” tuturnya.
Ida Bagus Wiswabajra, S.S., M.Si., selaku koodinator lomba menjelaskan wimbakara pidarta basa Bali diikuti 7 kabupaten kota Se Bali. Lomba pidato mengangkat tema “Wana Bhuwana: Utsaha Nglestariang Wana ring Jagat Bali” .
Dijelaskan kriteria lomba pidato kali ini para peserta lomba menyiapkan materi atau naskah pidato yang disusun oleh peserta dengan menggunakan Bahasa Bali Alus. Waktu penyajian pidato untuk masing-masing peserta adalah 10 – 12 menit. ” Lomba pidarta yang dinilai, adalah penampilan, pengolahan tema, penguasaan materi, bahasa dan amanat,” terang Wiswabajra.
Sebelumnya, Kurator Putu Eka Guna Yasa menegaskan, Pidarta Bahasa Bali dalam rangkaian bulan bahasa Bali memberi ruang bagi para mahasiswa , masyarakat terutama Jro Bndesa untuk melihat realitas, mengkritisi, dan mencari solusi atas berbagai masalah hutan sesuai dengan tema Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahottama.
Bagaimana memformulasikan hutan sebagai Mahawana, Tapawana, dan Sri Wana. Dalam konteks Mahawana, hutan adalah penyangga kehidupan, tempat sarwa prani hidup, dan saudara tertua manusia dalam tautannya dengan kosmologi Bali. Sementara itu, dalam konteks Tapawana, hutan sesungguhnya adalah tempat bertapa, sumber kerahayuan semesta. Di sisi lain, dalam konteks Sri Wana, hutan adalah tempat memperoleh sandang, pangan, dan papan termasuk juga bahan pengobatan, yang jika dimanfaatkan dengan tepat, ia bisa mendatangkan guna kaya “penghasilan hidup”. “Sekali lagi, tema Wanakerthi dibumikan sepenuhnya dalam Bulan Bahasa Bali tahun ini,” tandasnya. (*)