Translate

May 10, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Angklung Khas Buleleng Tampil Menggema Iringi Joged di PKB

Angklung sebagai salah satu tabuh Bali berlaras selendro yang kerap digunakan untuk mengiringi upacara Pengabenan, yang identik dengan alunan nada sendu atau sedi, namun dalam Pesta Kesenian Bali ke-44 ini ditampilkan berbeda dengan alunan bernuansa gembira.

Tabuh Angklung yang dibawakan Sanggar Seni Karya Remaja, Desa Sarimekar, Kabupaten Buleleng ini pada Selasa (28/6/2022) di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, bahkan mengiringi sejumlah tari penyambutan dan tari pergaulan dengan gerak-gerak yang lincah dan dinamis.

“Angklung kebyar dengan daun kutus (bilah delapan) ini memang menjadi ciri khas dari Buleleng. Biasanya di daerah lain, gamelan angklung bilahnya ada empat,” kata Ketua Sanggar Seni Karya Remaja Ni Luh Made Fitri Yudiastuti usai pementasan tari dan tabuh yang dibawakan sanggar setempat.

Sesuai namanya, sanggar yang didominasi kaum remaja itu menghibur para penonton PKB dengan menampilkan dua jenis tabuh yakni Tabuh Paangklungan Lalemesan dan Tabuh Kreasi Lalah Manis, serta mengiringi empat jenis tarian.

“Ini menjadi pementasan kami yang kedua di PKB. Sebelumnya, kami sudah pernah tampil pada PKB tahun 2019. Untuk lebih menghibur penonton, tabuh angklung digunakan untuk mengiringi Tari Kembang Deeng, Tabuh Kreasi Lalah Manis, Tari Palawakya, Joged Sekar Jepun dan Jogeg Genjek Kreasi,” ujar Fitri.

Meskipun sudah kerap tampil dalam berbagai kegiatan ngayah di daerah setempat, khusus untuk Pesta Kesenian Bali, sanggar ini telah berlatih selama empat bulan terakhir.

Mengawali pementasan, enam remaja putri dengan busana bernuansa ungu, merah muda dan selendang berwarna kuning sembari membawa dulang berisi bunga tampil dengan energik membawakan Tari Kembang Deeng.

Tari Kembang Deeng adalah sebuah karya tari yang biasanya ditampilkan sebagai tari penyambutan. Tari ini terinspirasi dari tradisi Padeengan dalam upacara Ngaben yang menggambarkan bidadari turun dari Khayangan menyambut kedatangan sang atma atau roh yang meninggal.

Kemudian dilanjutkan dengan penampilan Tari Palawakya yang menggabungkan seni gerak karawitan dan seni suara. Dalam tari tunggal ini, penari melantunkan tembang-tembang bernuansa spiritual adaptasi dari Kekawin Palawakya. Selain itu, penari juga menabuh gamelan terompong.

Fitri yang sekaligus menjadi penari Tari Palawakya ini mengatakan tari yang dibawakan tersebut diciptakan oleh I Wayan Paraupan atau yang lebih dikenal Pan Wandres, seorang seniman tari dari Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng.

Penonton yang memadati Kalangan Ayodya itupun semakin antusias dengan tampilnya penari Joged Sekar Jepun. Tarian Joged iniyang menggambarkan indahnya bunga jepun (kamboja) ini.

Joged Genjek Kreasi menjadi tarian pamungkas. Tari ini berawal dari kawasan Buleleng barat, tepatnya di Desa Lokapaksa.

“Tari ini berawal dari kegembiraan petani saat panen raya, mereka menari bersama-sama yang lama-kelamaan seiring dengan perkembangannya dikemaslah dalam bentuk seni pertunjukan Joged Bumbung,” kata Fitri.

Meskipun Angklung daun kutus bisa dibawakan dengan nada gembira, ujar Fitri, fungsi gamelan ini di Buleleng tetap tidak jauh berbeda dengan Angklung yang dibawakan dari kabupaten lainnya di Provinsi Bali untuk mengiringi acara Pitra Yadnya atau prosesi Pegabenan.

Oleh karena itu, dalam pementasan yang berlangsung hampir dua jam tersebut juga tetap menampilkan tabuh angklung yang biasanya digunakan untuk mengiringi prosesi Pengabenan yang dinamakan Tabuh Paangklungan Lalemesan.

Tabuh Lalemesan dengan alunan nada sedih atau sendu, namun kemudian pada akhir tabuh dengan nada gembira. Tabuh ini biasa dibawakan pada upacara Pitra Yadnya atau Pengabenan.

Tabuh ini terinspirasi dari prosesi dimana sang yajamana atau pihak keluarga yang dilanda kesedihan, namun sebagai tanda keikhlasan, pada puncak upacara disertai dengan suasana riang gembira.

Tak ketinggalan juga ditampilkan Tabuh Kreasi Lalah Manis yang menggambarkan satu kehidupan yang dibalut oleh konsep Rwa Bhinneda (baik buruk).

“Dalam penampilan kali ini, kami juga melibatkan delapan penabuh legendaris. Mereka ini pernah tampil pada Pesta Kesenian Bali tahun 2004. Mereka sengaja kami kolaborasikan dengan para penabuh yang muda-muda,” kata Fitri.