Translate

April 28, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Akademisi: Air jadi Orientasi Utama dalam Arsitektur Bali

Akademisi Institut Seni Indonesia Denpasar Dr. Anak Agung Gede Rai Remawa mengatakan spirit pemuliaan air telah menjadi orientasi utama dalam arsitektur Bali.

“Jika untuk tingkat desa, kita bisa melihat posisi Pura Puseh yang berada di hulu, sedangkan untuk di lingkungan rumah, ada Bale Daja (meten) yang posisinya paling tinggi,” kata Rai Remawa di Denpasar, Minggu (3/7/2022).

Rai Remawa menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam Widyatula (sarasehan) Pesta Kesenian Bali XLIV Tahun 2022 Seni Arsitektur Perundagian Tapa Tirtha yang digelar secaraluring dan daring di Ruang Padma Dinas Kebudayaan Provinsi Bali.

Konsep pemuliaan pada air dalam arsitektur Bali diantaranya termuat dalam Lontar Ashta Bhumi, Ashta Kosali, Lontar Wiswakarma dan lontar lainnya.

“Dalam lontar Ashta Bhumi, Ashta Kosali dan beberapa lontar lainnya, kesemuanya menurunkan ide keteduhan
melalui keseimbangan cahaya api-air-udara sebagai poros sakral atas dan bawah (kaja kelod) serta urip-pati (kangin-kauh) sebagai poros sakral-profan,” ujarnya.

Khususnya dalam interior dan arsitektur tradisional Bali Madya juga disebutkan mengenai Perundagian Tapa Tirta yang tidak terlepas dari keinginan pemilik hunian untuk dapat tinggal di dalam huniannya dengan estetis, teduh dan mengayomi.

“Keteduhan yang diturunkan dari alam semesta diaplikasikan dalam berbagai sistem pengukuran arsitektur Bali,” ucap Rai Remawa yang juga Wakil Rektor Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni ISI Denpasar itu.

Dalam sistem pengukuran pada arsitektur rumah Bali Madya, posisi tertinggi ditempati Bale Meten (Bale Daja) dengan memiliki undak (tangga) tiga, sedangkan pada bangunan bale yang di arah timur, barat, dan selatan hanya satu undak;

Demikian pula dalam Sukat Bale Banyu dalam sistem pengukuran Sukat Ashta Bhuana, dan perhitungan “Sri” dalam Sukat Tampak Ngandang Ashta Wara, semuanya mengarah pada orientasi air.

“Bahwasanya air telah menjadi pemikiran leluhur Bali tidaklah perlu diragukan, karena telah ditempatkan dalam posisi utama,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Rai Remawa, sebagai generasi penerus sudah seharusnya melestarikan, mengembangkan, memajukan dan bahkan menguatkannya dalam berbagai aspek kehidupan pada masa modern ini sebagai Bali Era Baru.

Saat ini pada bangunan modern, kata dia, hendaknya spirit yang telah diwariskan pada arsitektur Bali bisa tetap dipegang teguh. Memang tidak harus memiliki bangunan Bale Daja yang mungkin disebabkan karena keterbatasan lahan, namun spiritnya yang harus dipertahankan.

Sementara itu, narasumber berikutnya I Ketut Pradnya, Pendiri Museum Wiswakarma dari Batubulan, Gianyar yang kesehariannya selaku undagi dalam kesempatan itu membawakan materi mengenai Membangun Umah Sembari Merawat “Yeh” Cara Bali.

Yang dimaksud merawat “yeh” atau air cara Bali dalam hal ini termasuk orong-orong, cacapan, natah, songbah, telabah, blungbang, dalam sebuah bangunan rumah (umah abungkul) dan beberapa rumah dalam satu pekarangan (umah karang paumahan atau umah karang sikut satak).

Untuk membangun umah abungkul maupun beberapa rumah dalam satu karang paumahan atau karang sikut satak, tata cara dan tata kelolanya hampir sama.

Persamaannya, antara lain mengacu kepada sukat/sikut, yang bersumber pada lontar yang sama, memperhatikan hulu teben, membagi bangunan rumah seolah-olah diidentikkan dengan bhuwana alit (tubuh manusia).

“Selanjutnya menyatukan rumah dengan bhuwana agung (alam semesta) dalam bentuk pemberian ruang yang wajar bagi sirkulasi udara (angin) dan saluran air seperti orong-orong, cacapan, natah, telabah dan blungbang.

Sedangkan terkait konsep hulu teben, hulu merupakan tempat suci atau yang disucikan dan sumber air, sedangkan teben yang berada pada posisi relatif rendah/lebah, sepert pada umumnya arah selatan dan barat yang fungsinya untuk penyaluran limbah.

Namun, ujar Pradnya, belakangan hal yang menjadi prinsip para tetua dalam arsitektur Bali mulai bergeser.

Ia mengemukakan, penyebabnya antara lain para undagi (arsitek tradisional Bali) semakin terpinggirkan atau tidak lagi memiliki otoritas penuh (guru loka) dalam membangun rumah.

Selain itu, pemilik rumah kebanyakan mengabaikan tata cara dan tata kelola yang dikenal dengan umah tis (rumah sejuk/teduh).