Translate

April 27, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Meriahkan Festival Tanjung Kelayang 2, Disbud Bali Tampilkan Bala Bali Dwipa dan Lango Sudhaning Koripan

Tim Kesenian Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali bakal meriahkan Festival Tanjung Kelayang 2 yang bakal berlangsung  pada 15-19 November 2019, Kabupaten Belitung, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.  Pada Kalender Even Pariwisata Kabupaten Belitung itu, Tim Kesenian Bali akan  mengikuti dua jenis kegiatan dari 13 jenis acara yang disajikan. “Atas undangan dari Dinas Pariwisata Kabupaten Belitung itu, maka Dinas Kebudayaan Bali akan tampil pada acara Parade Pelangi Budaya dan Pentas Seni Budaya Daerah,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Dr. I Wayan ‘Kun’ Adnyana, S.Sn,.M.Sn. Kamis (14/11)

Dalam ajang kebudayaan sekaligus promosi pariwisata  ini, jelas Kepala Dinas (Kadis) Kun Adnyana, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bekerjasama dengan Sanggar Gumiart  untuk menampilkan sajian seni inovati yang didukung oleh 18 seniman, tari dan tabuh. Dua garapan yang akan ditampilkan yaitu garapan pawai berjudul ‘Bala Bali Dwipa’ menggambarkan gagahnya para ksatria Bali, yang interpretasi dari keagungan Pulau Dewata dijaga prajurit-prajurit tangguh dengan iringan gamelan Balaganjur. “Sedang untuk garapan pertunjukan panggung menyajikan karya seni berjudul ‘Lango Sudhaning Koripan’, Keindahan sebagai Sarana Ruatan Sang Jiwa,” jelasnya.

Menurutnya, Bali ikut berpartisipasi dalam ajang seni budaya tersebut sebagai langkah positif untuk memperkenalkan kesenian Bali kepada masyarakat nusantara. Hal ini juga sebagai bentuk diplomasi budaya serta lebih mengenalkan seni budaya daerah Bali kepada masyarakat Belitung khususnya. Apalagi, festival ini merupakan even pariwisata pasti menghadirkan para buyer pariwisata. “Festival Tanjung Kelayang 2 ini sangat strategis bagi Bali. Selain dapat berpromosi, nantinya akan ada feed back, yaitu saling kunjung mengunjungi saat even di Bali, seperti ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) atau event lainnya,” ungkapnya.

Akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menegaskan, Festival Tanjung Kelayang 2 ini termasuk dalam Top 100 Calender of Events Wonderful Indonesia 2019, sehingga sangat tepat bagi Bali untuk berpartisipasi dalam hajatan tersebut.  “Secara tidak langsung, ada dua hal yang kita promosikan disana, yaitu budaya Bali yang unik, juga pariwisata Bali yang berdasarkan budaya, sehingga menjadi daya tarik yang benar-benar beda,” ucapnya.

Sememtara itu dua garapan inovatif dan sarat pesan adalah Bala Bali Dwipa, sebagai seni yang disajikan secara berjalan (pawai) dan Lango Sudhaning Koripan, Keindahan sebagai Sarana Ruatan Sang Jiwa sebuah garapan khusus disajikan di atas pangung. “Dalam memeriahkan Festival Tanjung Kelayang 2, kami menyajikan harapan baru yang terinpirasi dari visi Pemerintah Provinsi Bali, Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” kata Kadek Wahyudita selaku penggagas dan konsep karya.

Kadek Wahyudita selaku penggagas dan konsep karya mengatakan, garapan Bala Bali Dwipa memadukan gerak-gerak ritmik dan diiringi oleh musik gamelan Balaganjur, sebuah ensamble perkusi yang biasa digunakan untuk mengiringi prosesi berjalan. “Dari prosesi inilah lahir sebuah gagasan untuk menuangkannya menjadi sebuah garapan pawai dengan judul Bala Bali Dwipa yang berarti pasukan/prajurit pulau dewata,” terangnya.

Sementara untuk garapan, Lango Sudhaning Koripan “Keindahan sebagai Sarana Ruatan Sang Jiwa” itu terinspirasi dari degradasi moral melanda dunia hingga titik kehancuran. Hegemoni perbudakan bisnis mania kapitalisasi liberalisasi perdagangan mencabut manusia dari roh yang menghidupinya. Manusia terbuai pada gemerlapnya harta duniawi. Para rohaniawan pergi kepasar untuk berjualan. “Lalu, para pemimpin sibuk memainkan ‘topeng’nya. Lalu apa arti dari semua fenomena ini? Apa yang harus dilakukan?” tanyanya.

Sesiuai visi Pemerintah Provionsi Bali yaitu Nangun Sat Kerthi Loka Bali, sebagai titik balik memandang dunia dari perspektif “Bali” masa depan mahasurgawi–dicipta untuk tujuan epistemik itu. Dengan menabuhkan musik dari seluruh disiplin ilmu, dan menarikan impian-impian cerdas menuju harmoni baru. Karena itu, Lango Sudhaning Koripan adalah sebuah karya baru, menjelajah keindahan dan kedamaian kedalam diri, membangun energy kesadaran (budhisatyam), menebar cinta kasih (prabha samara) guna memahami keagungan semesta (prabhawabuwana).

Gagasan karya ini ingin mewujudkan sebuah pertunjukan yang tidak hanya berfungsi untuk memahami seni dalam konteks sains dan estetika semata, melainkan juga dapat naik ke level consciousness (kesadaran) dan wisdom (kebijaksanaan). “Pemahaman yang ingin disampaikan adalah seni tidak hanya berfungsi sebagai alat pemenuhan rasa estetis manusia semata. Seni dapat dijadikan sebagai media pengaduan kepada Sang Maha Pencipta, serta media untuk membangkitkan kesadaran untuk memahami kesujatian mikrokosmos dan makrokosmos.

Wayan Sudiarsa yang akrab disapa Pacet sebagai composer mengatakan, Toim Kesenian Dinas Provinsi Bali ini sesungguhnya menampilkan satu garapan panjang, tetapi ditengah-tengahnya ter4dapat musik penyela. Garapan paling awal bercerita tentang bagaimana kegelapan dunia, tanpa ilmu pengetahuan. Sastra terus dibaca, dipelajari sehingga menemukan titik terang. “Pendekatannya memahami diri sendiri (atma kertih) terlebih dahulu, baru kemudian dunia (jagat kerti). Kami menggunakan gamelan Singapraga yang musicnya cendrung ilustrai, tetapi tetap ada aksentuasinya,” paparnya.

Tantangannya, ini sebagai sebuah garapan tari, tetapi dengan durasi yang cukup lama seperti durasi pragmentari. Jumlah penabuh 8 orang dan 1 orang sebagai penabuh yang ikut menari, sehingga memakai metode ritme, melodi dan modulasi. Pada bagian terakhir, memahami jagat kertih, merupakan perbaduan sasih ngapat dimana semua tumbuhan bermekaran. Seniman di Bali juga seorang petani, sehingga ekspersi inilah yang disajikan. Ketika tanaman berbunga, berbuah, membuat hati mereka senang, sehingga ada imajinasi ekspresi berkesenian. “Kami mengangkat kesenian rakyat, seperti janger, kecak, genjek, yang dipadu dengan suara binatang,” ucapnya.

I Gede Gusman Adhi Gunawan koreografer yang juga pimpinan Sanggar Gumiart ini mengatakan, konsep pementasan itu diterjemahkan kedalam sebuah koregrafi yang dibagi menjadi 3 plot. Pertama menggambarkan cahaya dari ilmu pengetahuan dengan simbol lewat penari kipas berbentuk hiasan lontar. Masuknya penari cewek yang menggambarkan, manusia kini banyak yang cerdas dan pintar, tetapi tidak menggunakan ilmu pengetahuannya untuk orang banyak. Mereka justru merugikan orang lain.

Plot dua penari dengan hiasan terompong dikepalanya, sebagai simbol Dewi Saraswati merangkai ilmu pengetahuannya disebarluaskan kepada umatnya. Plot ketiga menggunakan gelungan gentorag sebagai simbol dimulainya aktivitas budaya apklikasi dari ilmu pengetahuan yang dipelajari. “Endingnya menarikan wayang pis bolong, kehadiran ilmu pengetahuan untuk mensejahterakan dan memakumurkan bagi mereka yang memiliki ilmu pengetahun,” pungkasnya. (*)