Translate

April 19, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

UPTD. TAMAN BUDAYA : LUKISAN PADANGTEGAL OLEH SANGGAR SENI SINGA MANDAWA

LUKISAN PADANGTEGAL : TINJAUAN ESTETIK DAN STILISTIK

Peragaan karya seni rupa ini menampilkan tayangan virtual yang memadukan ragam seni alih kreasi dengan semi dokumenter yang dirangkum dari arsip-arsip tulisan, kajian, rekaman video/foto peristiwa pameran terpilih, foto karya, berikut wawancara atau pandangan seniman dan pengamat seni seturut tematik Lukisan Padangtegal: Tinjauan Estetik dan Stilistik. Melalui rangkuman dokumentasi berbagai sumber, juga wawancara dan pendalaman wacana terkini, diharapkan dapat tergambarkan pilihan estetik dan stilistik dalam lukisan Padangtegal.

Padangtegal, sebuah desa di daerah Ubud, merupakan satu dari sekian banjar yang menjadi pusat perkembangan seni rupa pada tahun 1930-an seturut hadirnya Pita Maha. Bila dirunut sejarah panjang dan dinamika yang menyertai proses bertumbuhnya kesenirupaan di daerah ini, sesungguhnya terdapat benang merah yang mendasari kreativitas mereka dari generasi ke generasi, kemudian tecermin melalui pilihan ragam stilistik dan estetik mereka.

Para pelukis ini, tumbuh dari komunitas tradisi yang mempraktikkan laku keseniannya mula-mula sebagai undagi; masing-masing merespon filosofi Hindu dan mewujudkannya ke bentuk patung, relief maupun ukiran seperti yang digeluti oleh para pendahulunya. Aspek teknis dan filsafati mengalir terwariskan dalam komunitas ini dari generasi ke generasi, di mana tiap-tiap seniman mengetengahkan kosarupa yang khas dengan dirinya, tanpa kehilangan ciri lukis Padangtegal yang dari waktu ke waktu terbukti memperkaya khazanah seni lukis di Bali.

Adapun generasi pertama seniman Padangtegal yang tumbuh dalam arus awal Pita Maha, seperti: A. A. Sobrat, A. A. Raka Turas, A. A. Mergeg, Dewa Nyoman Leper, Dewa Ketut Ding, Dewa Ketut Rangun, Nyoman Madya, Ketut Tungeh, Wayan Kuplir, Dewa Putu Bedil, Mangku Wayan  Nomer, Ida Bagus Rai, I Wayan Tegun, Ni Luh Siki.

Generasi kedua yang tumbuh setelah tahun 1950-an, antara lain: Wayan Serati, Made Sukada, Made Poster, Ketut Budiana (1950), I Ketut Rawiasa (1950), Nyoman Suradnya (1951), I Made Subrata (1952), Made Subrata (1952), I Wayan Sulendra (1954), I Made Parna (1955), Nyoman Wardana (1959). Generasi ini ditandai dengan mulai adanya latar pendidikan formal seni yang turut berpengaruh pada kerangka kreativitas mereka.

Terakhir adalah generasi ketiga, antara lain seperti: Ida Bagus  Jembawan (1960), I Wayan Supartama (1962), I Wayan Wartama (1963), Ketut Parmita (1963), I Made Karsa (1964), Nyoman Cheeyork Anna (1966), I Nyoman Darmayasa (1969), I Wayan Mudara (1970), Putra Gunawan (1971), Kadek Suraja (1972), Dewa Gede Artawan (1972), I Nyoman Sudana (1976), I Wayan Sudarna Putra (1976), Ida Bagus Putra Yadnya (1987). Generasi ketiga ditandai dengan latar belakang yang kembali beragam, bahkan tidak banyak yang memiliki latar pendidikan formal seni, mereka dari berbagai disiplin formal namun tetap berkarya seni lukis dengan kecenderungannya masing-masing.

Seluruh ragam tematik, stilistik, estetik diterjemahkan dalam wujud garis, warna dan komposisi– bukan hanya memanfaatkan ikonografis khas Bali yang disikapi secara kritis dan kreatif, namun juga mencerminkan inovasi bersifat teknis dan stilistik, meraih originalitas menuju penemuan diri. Tentu saja dalam kanvas atau karya mereka, kita masih tetap bisa melacak jejak estetik, stilistik, maupun ragam tematik para pendahulunya.