Translate

April 27, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Tetap Berlomba di Tengah Gerimis dan Kilatan Cahaya

DENPASAR – Lomba Baleganjur Remaja memang selalu menjadi salah satu primadona yang dinanti masyarakat di setiap ajang Pesta Kesenian Bali (PKB). Tak peduli cuaca yang tak mendukung, ribuan masyarakat tetap setia menanti para wakil daerah untuk beratraksi di atas panggung.

Cuaca kurang stabil terjadi saat Lomba Baleganjur Remaja PKB XLIV Tahun 2022 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Selasa (14/6/2022) malam. Ribuan penonton yang sudah mengambil posisi untuk menonton di tribun panggung, harus berkali-kali mencari tempat berteduh karena gerimis. Alhasil, perlombaan diundur 30 menit dari jadwal karena menunggu cuaca yang lebih stabil. Meski pada akhirnya, gerimis dan kilatan cahaya di langit tetap bermunculan selama perlombaan.

Pada Lomba Baleganjur Remaja, Selasa malam kemarin, ada tiga duta daerah yang tampil yakni Sanggar Chandra Nada Yowana Desa Adat Padang Tegal, Kecamatan Ubud sebagai duta Kabupaten Gianyar, Komunitas Budaya Sanggar Seni Baswaram Desa Adat Semarapura, Kelurahan Semarapura Tengah sebagai duta Kabupaten Klungkung, dan Komunitas Seni Dwaja Ancala Banjar Dinas Pegubungan, Desa Duda, Kecamatan Selat sebagai duta Kabupaten Karangasem. Para wakil daerah ini tak terpengaruh dengan cuaca dan tetap fokus tampil maksimal.

Tampil pertama, Duta Gianyar yang diwakili Sanggar Chandra Nada Yowana membawakan garapan berjudul WOS (Wave of Springs). Garapan ini menceritakan WOS adalah sebuah sungai suci yang membentang dari hulu wilayah Ubud, juga merupakan sebuah akronim dari penciptaan karya yang berjudul “Wave of Spring.” Garapan ini mengacu pada pengolahan sumber gelombang air, dan arah penciptaanya berpijak pada transformasi tematik tetesan, aliran, percikan, gelembung, dan gelombang air menjadi bunyi-bunyi teratur dalam bingkai komposisi dengan media gamelan baleganjur.

Di hadapan ribuan penonton, Gianyar menyuguhkan sesuatu yang berbeda. Karya ini merupakan ungkapan kreatifitas dan gerakan pembaharuan dalam ranah baleganjur guna memproyeksikan musik masa depan baleganjur sekarang. Tetesan, gelombang, perputaran/siklus, campuhan, dan deburan menjadi bahan sintesa bunyi yang disusun secara terstruktur dengan memikirkan interelasi antar instrumen.

Sedangkan duta Klungkung yang diwakili oleh Komunitas Budaya Sanggar Seni Baswaram membawakan garapan berjudul “Bulak Bangsing” yang bukan hanya perpaduan dua kata untuk bertemu makna. Bulak Bangsing adalah inspirasi semesta atas sradha anak manusia, sebagai pemantik lahirnya fibrasi energi melodi, yang terangkai dalam kemasan gending baleganjur. Bulak berarti genangan mata air, dan Bangsing selain berarti juntaian akar yang keluar dari ranting pohon, juga merujuk kepada kemuliaan kesucian bagian Dasaksara, Bang dan Sing.

Bang adalah pamurtian Tirta Kamandalu sebagai air kehidupan, dan Sing adalah hati manusia yang punya rasa. Eksplorasi rasa untuk selalu memuliakan anugrah air kehidupan inilah kemudian tertuang dan diterjemahkan dalam gending baleganjur, yang sarat dengan aura angker sesuai karakter pelinggih Ida Ratu Nyoman diatas sebuah bulakan mata air beratap juntaian bangsing. Selain harmoni gemuruh permainan kendang dan cengceng, perpaduan olah vokal penabuh yang mengisyaratkan ajakan untuk selalu memuliakan air juga kental dalam gending ini. Ditambah pola-pola eksperimen olah suara pada riong dengan cara yang tidak biasa, semakin menguatkan cipta karsa dan getaran pembaruan atas sebuah keberanian mengungkap rasa.

Sementara duta Karangasem yang diwakili Komunitas Seni Dwaja Ancala mengangkat sebuah tradisi yang unik yang menggambarkan tema PKB tahun ini yakni ritual ‘Makekobok’. Ditemui di sela pementasan, koordinator garapan untuk Duta Karangasem, I Putu Angga Wijaya menjelaskan, Makekobok adalah tradisi ritual pembersihan dan penyucian yang dilaksanakan di Campuhan dan di tempat suci Pancoran Beji Solas yang ada di Desa Adat Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Tradisi ini diperuntukkan kepada anak kecil (sekitar usia 6 bulan) sebelum boleh memasuki pura. Ada keyakinan dari krama Desa Adat Duda, bahwa apabila tradisi ini tidak dilaksanakan si anak akan selalu mendapat gangguan atau goda-godaan dari bhuta-bhuti perancangan Ida Bhatara.

Terkait garapan, Angga menuturkan, penggarap berupaya menampilkan berbagai ekspresi yang muncul pada diri si anak saat prosesi Makekobok seperti bereuforia, gerak-gerik yang kocak atau lucu, serta segala bentuk fenomena dan nilai yang terkandung di balik tradisi tersebut. “Tradisi Ini mengandung makna penyucian diri, melebur sahananing mala ring angga sarira ditandai dengan matur piuning, melukat dan ngelungsur air suci/tirtha. Sehingga si anak secara niskala benar-benar dianggap bersih dari dasa mala serta diizinkan untuk diajak memasuki kawasan suci Kahyangan di Desa Adat Duda,” ungkapnya.*