Translate

April 21, 2025

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Solah Tutur “Taru Pramana” Garapan ISI Denpasar. Tanpa Penonton, Seluruh Penyaji Dilakukan Rapid Tes Antigen

Bulan Bahasa Bali 2021 telah dibuka secara resmi oleh Gubernur Bali Wayan Koster di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Senin (1/2). Untuk lebih memaknai hajatan tahunan itu, disajikan garapan Solah Tutur “Taru Pramana”. Pementasan garapan ini tanpa penonton dan disiarkan secara live streaming di chanel YouTube.

Garapan seni pertunjukan ini disajikan oleh Fakultas Seni Pertunjukan berkolaborasi dengan Sanggar Bungan Dedari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar dengan melibatkan sebanyak 51 penari dan 23 penabuh.  Seluruh penyaji dilakukan rapid tes antigen dengan hasil negatif.

Menariknya, garapan seni ini dibuat dalam format baru, yang tidak berorientasi pada sendratari murni ataupun oratorium yang biasa disajikan sebelumnya.

Garapan ini menyajikan sebuah pola pikir untuk mengkreasikan berbagai dimensi dan berbagai elemen, baik itu sastra, teater, tari, musik dan juga pemanfaatan media digital, seperti layar LED dengan penyediaan video dron dan lainnya. Bentuknya, dalam format sangat baru yang disebut sebagai solah tutur. Para penari tak hanya menonjolkan tari saja, tetapi ada juga yang berdialog langsung, ada pula didukung dalang yang harus diisi pada adegan bertentu, ada yang harus menyanyi, mekidung dan bermain music, sehingga ada berbagai elemen di dalamnya.

Selaku penanggungjawab, Dr. I Komang Sudirga, SSn.,M.Hum didampingi Ketua Panitia, I Gede Mawan, SSn.,M.Si mengatakan, garapan ini memang dibuat dalam format baru. Jika sebelumnya ada musikalisasi puisi, oratorium, maka kali ini membuat dalam bentuk solah tutur yang diharapkan menjadi model kedepan. Garapan berdurasi sekitar 1 jam itu, mengangkat kisah yang bersumber dari Lontar Taru Pramana. Hal ini sengaja diangkat karena mengacu pada tema Bulan Bahasa Bali yakni “Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahottama.

Menurut Komang Sudirga ada makna yang ingin disampaikan dalam garapan ini. Salah satunya jangan “Jumawa” (sombong) setelah merasa hebat. Karena sebagai manusia semestinya selalu bersahabat dengan alam. Karena itu, garapan ini ingin menyampaikan bahwa, manusia hidup mesti selalu saling menyayangi dengan alam sebagai implementasi konsep Tri Hita Karana. “Secara vertikal, anugerah Tuhan melalui tumbuh-tumbuhan dan hewan, manusia harus bisa bersahabat dengan mereka. Manusia tak bisa hidup tanpa adanya tumbuhan dan binatang. Oleh karean itu mari pelihara alam ini,” ajaknya.

Itulah alasan, kenapa garapan ini juga diisi dengan prosesi upacara tumpek uduh sebagai simbolisasi kasih sayang terhadap alam melalui barong kedengkling. “Disana ada tokoh Subali, Sugriwa, dan Hanoman merupakan simbol dari kama petak dan kama bang sebagai perwujudan munculnmya mahluk hidup. Itu untuk mengharmonisasikan alam. Ketika tumbuhan itu diupacarai dengan sasat dan ada barong kedingkling,” terangnya.

Made Mawan menambahkan, media ungkap sebagai iringan mengangkat gong luang, sebuah gamelan sakral. Namun, saat ini bukan mengangkat sakralitasnya, melainkan media harmoni dengan alam. Sebab dalam gong luang itu ada salah satu alat unik bersumber dari kayu yakni “Saron”. Instrumen ini memang ditonjokan, disamping itu jumlah instrumennya mini, seperti ada yang berbilah, berpencon, ada kendang, gong dan ada tambahan suling. Dengan personil minim, tetapi mampu mendukung berbagai adegan dan mampu menimbulkan kebutuhan suasana pentas.

Dari segi patutan, Gong Luwang ini menggunakan tangga nada pelog 7 nada, sehingga memberikan keluluasaan kepada para komposer untuk mengeksplore berbagai kemungkinan lain di dalam gamelan. Ini juga dapat mendukung untuk adegan-adegan di dalam garapan Solah Tutur Taru Pramana ini.

Dalam penataan kostum, garapan ini memanfaatkan busana yang menyesesuaikan dengan tema Wana Kerthi, sehingga pada tokah tertentu memanfaatkan isi alam, seperti menggunakan daun-daun untuk penari hutan, penari barong memenggunakan awir dari prasok dan lainnya. “Dan yang pasti, garapan ini betul-betul menerapkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dalam satu adegan, penari tak boleh dari 10 orang. Para penari juga memakai face shield. Para penari dan penabuh juga telah melaksanakan Tes Antigens untuk memastikan rasa aman,” ucap Mawan serius.

Alur ceritera bersumber dari Lontar Taru Pramana yang mengacu pada tema Bulan Bahasa Bali, yakni Wana Kerthi Sabdaning Taru Pramana. Dikisahkan seorang raja bernama Prabu  Kuturan yang berprofesi sebagai balian (penyembuh) yang sangat sakti mengobati orang sakit. Tiba-tiba, Prabu itu mengalami semacam titik nadir, kegagalan. Jangankan pasien itu sehat, namun hidupun tidak. Semua yang diobati itu meninggal. Pada suatu ketika ada putri raja yang mengalami sakit keras. Sang raja memohon pada Prabu Mpu Kuturan untuk menyembuhkan  putrinya.

Prabu Mpu Kuturan ini menyesali nasibnya, semacam nyiksik bulu. Atas baktinya kepada Sang Raja, ia kemudian meminta waktu untuk bersemedi terlebih dahulu sebelum mengobati sang putri. Ia kemudian bersemedi di Setra Ganda Mayu selama satu bulan tujuh hari dengan berbagai cobaan maka datanglah Dewi Durga. Ketika Prabu Kuturan bertanya tentang nasibnya, Dewi Durga mengatakan karena ia mulai sombong, sudah mulai “nyapa kadi aku” mengaku sudah hebat. Dengan mau bertobat, Dewi Durga kemudian menurunkan anugrah sebuah lontar Aji Taru Pramana.

Dengan anugerah itu, Prabu Mpu Kuturan akhirnya bisa berkomunikasi dengan semua tumbuh- tumbuhan. Ia kemudian masuk ke tengah hutan menanyakan setiap tanaman tentang fungsinnya, mulai dari akar, kulit, batang, daun, bunga, pucuk dan sebagainya. Dengan pengetahuan itulah, mulai kesidiannya (kesaktiannya mengobati) muncul kembali, sehingga bisa mengobati Putri Raja yang terbaring karena sakit itu. (*)