Translate

April 26, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Sekaa Gamelan Suling Sundaram Sajikan Karya Seni Hasil dari Pengembangan Seni Tradisi

Menyaksikan rekasadana (pergelaran) Sekaa Gamelan Suling Sundaram, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar sebagai orang bertanya-tanya terhadap jenis alat music gamelan dimainkan. Sebab, dalam barungan gamelan tersebut terdapat selonding, jegog, tingklik, suling, sepasang kendang dan lainnya yang dimainkan di stage Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (25/6). Namun, ketika alat gamelan itu dimainkan secara bersama-sama, ternyata menghasilkan suara yang sangat manis, sejuk dan yang pasti menginspirasi.

Sekaa Gamelan Suling Sundaram tampil dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44. Saat itu ada sebanyak 7 garapan seni yang ditampilkan, terdiri dari 3 buah tabuh dan 4 tari. Setiap garapan yang disajikan semuanya menarik, karena memang digarap dengan nuansa baru beroriantasi pada pengembangan. Tabuh-tabuh yang dimainkan menghasilkan gending-gending yang begitu memikat. Apalagi, direspon dengan para penari lentur, menjadi sebuah garapan seni kreatif dan sangat baru.

Sekaa Gamelan Suling Sundaram ini yang tampil dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tergolong kreatif. Garapan seni tersebut, betul-betul sebuah pengembangan seni yang berbasis tradisi, seperti judul materi pementasan yaitu Rekasedana Pengembangan Berbasis Tradisi. Sajian seni tersebut memang memakai alat gamelan tradisional dari beberapa bagian dari barungan gamelan tradisi yang dibentuk menjadi sebuah music fusion. “Pengembangannya, lebih pada jenis karya yang ditampilkan,” kata pembina tabuh sekaligus owner sanggar, Denny Sundaram.

Tujuh karya akan dihadirkan dalam pergelaran kali ini, bertajuk pada konsep ” SAPTA GANGGA ” yaitu Tujuh sumber mata air yang dimuliakan. Setiap karya akan mewakili kesucian air sebagai sumber kehidupan. Pergelara ini diawali dari penampilan Tabuh Sekar Eled merupakan gending klasik yang biasa di mainkan dalam barungan gamelan semar pegulingan dan gong suling. Ketika gending ini dimainkan dalam barungan gong suling mempunyai ciri khas kotekan, dalam bahasa bali nya “ngoncang” dengan menggunakan suling gangsa dan kantilan. Ketika tabuh ini disajikan di PKB, dibina oleh Denny Sundaram dan I Wayan Ovei Rismana.

Selanjutnya menampilkan Tabuh Reliked yang juga menarik. Reliked adalah singkatan Realitas Kehidupan, menggambarkan realitas kehidupan secara sederhana dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang terjadi di kehidupan nyata. Dengan kata lain, realitas kehidupan merujuk pada hal-hal yang secara nyata terjadi dan dapat ditemukan dalam kehidupan nyata, bukan lagi sebatas teori atau pendapat seseorang atau sekelompok orang.

Karya reliked ini mengambil realitas kehidupan manusia dengan mengambil contoh dari sarang burung manyar, sarang burung manyar sangat rumit namun memandang secara kejauhan terlihat sangat indah, begitu pun kehidupan manusia, mengetahui secara dekat banyak kerumitan yang dapat diketahui, dan sebaliknya, melihat secara kejauhan hanya bisa menilai dari segi kebahagiaannya saja. Tabuh ini ditata oleh I Wayan Ovei Rismana.

Penampilan ketiga sebuat garaopan tari berjudul “Igel Sundaram”. Garapan ini sebuah tarian kedamaian atau tarian pembukaan. Menemani Sang Surya di pagi hari, sundaram memberikan pesona kecantikannya, burung berkicau, hembusan angin, gemericik air, alam seakan bersuara memberikan keindahan musiknya, membuat jiwa menari dalam kedamaian. Air yang di muliakan ke dalam tubuh menjadi awal mula kehidupan. Tari digarap I Komang Adi Pranata dan Denny Sundaram sebagai penata musiknya.

Berikutnya menyajikan “Surya Candra” sebuah Konsep Rwa Bhineda yang berarti keseimbangan antara dua unsur yang berlawanan yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Dalam karya ini mengambil konsep diatas dengan mengolah keras lembut dan cepat lambat melodi sebagai dasarnya, kemudian memasukan unsur vocal agar secara teks dan konteks mendukung konsep karya musik ini. Denny Sundaram sebagai penata music berkolaborasi dengan Ida Ayu Nyoman Werdhi Putri Kusuma sebagai penata vocal.

Lalu tabuh “Ening” yang memiliki arti jernih atau bersih. Ibarat percikan air suci di dalam agama Hindu yang disebut dengan tirta. Tirta bukanlah air biasa, melainkan benda atau materi yang sakral dan dianggap mampu membersihkan kecemaran pikiran dan menumbuhkan rasa ening dan suci, baik secara lahir maupun batin. Tabuh ini ditatat apik oleh I Wayan Ovei Rismana.

Sementara sajian Cak Meong Meong merupakan aransement baru dari gending tradisional sekar rare yang dipadukan dengan jenis kesenian kecak agar menjadi lebih variatif. Sebuah kemasan baru disajikan menjadi satu kesatuan dengan menggunakan alat musik tradisional. Lirik dan bait sangat sederhana, namun banyak mengandung pesan pesan moral. Ida Ayu Nyoman Werdhi Putri Kusuma sebagai penata vocal, penata musik Denny Sundaram serta I Komang Adi Pranata sebagai penata tari betul-betul memperhitungka karya sehingga sangat menarik.

Dibagian pamungkas, menampilkan Leg’gong Ayu Nyalin. Karya ini merupakan sosok fiksi yang diketemukan penata dalam penjelajahan imajinatifnya. Berawal dari pertemuan penata tari dengan penata iringan yang menemukan istilah Leg – Leg Gong dalam kesenian Legong pakem pada umumnya. Istilah ini dibedah oleh I Komang Adi Pranata sebagai penata tari yang memunculkan makna sebuah keluwesan tubuh penari dalam bergerak yang diiringi gong. Dari keluwesan tersebut, Adi Pranata terinspirasi dari kelenturan rotan atau penyalin dalam istilah Bali yang menjadi pijakan dasar dalam pembentukan koreografi tarian ini.

Dari keluwesan tersebut, yang menjadi ingat slogan orang Bali yang dirasa sudah tidak pernah diangkat kembali menjadi motivasi dalam kehidupan ini “Sing Ade Lemet e Lung” mengajarkan kita dalam hidup ini harus fleksibel menempatkan diri baik tempat, waktu dan keadaan. Slogan tersebut diangkat pdalam sebuah karya tari yang terinspirasi dari bentuk kesenian Legong walau tidak berpijak dari keutuhan kesenian legong pakem pada umumnya. Ayu Nyalin beserta keluarganya menjadi media perantara penata dalam mengungkap kembali slogan yang hampir tidak pernah diutarakan kembali. Musiknya digarap oleh Denny Sundaram. *