Translate

April 21, 2025

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Pertama Kali, Bendesa Adat Ikuti Lomba Pidarta Bahasa Bali

Berbicara di hadapan krama desa adat mungkin sudah biasa bagi seorang bendesa adat. Namun apa jadinya jika para bendesa adat ikut berlomba pidato berbahasa Bali. Pemandangan itu pun terekam saat Wimbakara (Lomba) Pidarta Bendesa Adat Berbahasa Bali di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat (21/2).

Setiap kabupaten/kota mengirimkan wakil terbaiknya dalam lomba yang baru digelar pertama kali untuk bendesa adat ini. Masing-masing membawakan materi yang berkaitan dengan tema Bulan Bahasa Bali yakni Atma Kertih: Nyujur Jiwa Paripurna Melarapan Bulan Bahasa Bali. Menurut Kepala Seksi Inventaris dan Pemeliharaan Dokumentasi Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Made Mahesa Yuma Putra, lomba ini merupakan suatu terobosan dalam mengimplementasikan pelestarian bahasa, aksara dan sastra Bali di lingkup desa adat. Apalagi kini desa adat semakin dikuatkan dengan adanya Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019. Desa adat menjadi salah satu tempat untuk melestarikan keberadaan bahasa, aksara, dan sastra Bali.

“Lomba pidarta bendesa adat ini tiada lain bertujuan untuk mengembangkan bahasa, aksara dan sastra Bali di sejebag desa adat di Bali. Bendesa adat tentunya selama ini sebagai salah satu ‘pintu masuk’ ke suatu desa adat. Harapan kami, bahasa Bali menjadi pedoman bagi bendesa adat, sehingga bahasa Bali bisa tetap ajeg di masing-masing wilayah adat,” ujarnya di sela penilaian lomba.

Salah satu juri lomba pidarta bendesa adat, I Gusti Lanang Subamia, mengatakan, ada beberapa hal yang dinilai dalam lomba tersebut. Pertama, penampilan saat pidato. Kedua, pengolahan tema. Ketiga, penguasaan materi. Keempat, penggunaan bahasa Bali. Terakhir, amanat yang ingin disampaikan.

“Jadi pidarta beda dengan dharma wacana. Karena itu, yang dinilai dalam pidarta ini adalah bagaimana dia menjadi seorang orator. Secara keseluruhan sangat bagus penampilan masing-masing peserta. Mereka punya gaya masing-masing dalam membawakan materi. Memang ada beberapa yang terkesan seperti sedang dharma wacana,” terangnya.

Praktisi bahasa Bali asal Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Petang, Badung ini mengatakan, ada beberapa perbedaan antara dharma wacana dengan pidarta. Menurutnya, jika dharma wacana tidak boleh sembarangan dalam mengutip filsafat ataupun ungkapan lainnya untuk dijadikan materi. Sedangkan pidarta adalah seni atau kemampuan menuangkan ide yang bertujuan untuk menggugah masyarakat, dan kadangkala disertai dengan sedikit mengutip pernyataan dari buku atau kitab.

“Kalau dharma wacana itu tidak boleh menurut saya (pendapat pribadi, red). Harus mengutip buku atau kitab yang sudah jelas, tidak boleh salah ngutip. Sedangkan pidarta, boleh menurut saya (pendapat pribadi). Ngutip buku biasanya secuplik saja. Tapi selanjutnya adalah bagaimana kemampuan menggugah pendengar. Pidarta bisa juga diisi dengan joke-joke,” katanya.

Dari lomba tersebut, diperoleh tiga pemenang, yakni Cokorda Gede Brasika Putra mewakili kabupaten Klungkung sebagai juara I, Ketut Sudiarsa mewakili Badung sebagai juara II, serta AA Ketut Oka Adnyana dari Denpasar sebagai juara III. Sang juara, Cokorda Gede Brasika Putra mengaku, meski sudah terbiasa berbicara di hadapan krama adat, namun saat lomba masih ada rasa gerogi. Namun hal tersebut tidaklah terlalu mempengaruhi penampilannya saat berlomba. “Saya tampil bukan ngejar juara, tapi juari-nya (berani tampil, red),” tuturnya.

Bendesa Adat Nyalian, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung ini mengaku tidak memiliki persiapan khusus. Sebab aktivitas di desa adat yang begitu padat membuatnya tak sempat berlatih. “Kebetulan saya jadi pengayah di desa, sangat padat aktivitas di desa adat. Konsep dan tema saya olah di pikiran saja. Tidak ada latihan khusus. Tapi karena sudah terbiasa berbicara dengan krama adat, untuk bahasa tidak jadi masalah,” cerita pria yang baru dua tahun menjadi bendesa adat itu