Translate

May 9, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Kisahkan Pertarungan Mpu Bharadah dan Walunateng Dirah, PEPADI Denpasar Angkat Lakon “Kakia Perang”

DENPASAR – Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI) Denpasar menampilkan kesenian Wayang Kulit Calonarang serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Gedung Natya Mandala ISI Denpasar, Selasa (28/6/2022). Mengangkat lakon “Kakia Perang”, PEPADI Denpasar kisahkan pertarungan Mpu Bharadah dan Walunateng Dirah, hingga selipkan edukasi tentang ilmu pengeliatan dan kawisesan yang sejatinya bukan ilmu yang jelek atau jahat.

Lakon Kakia Perang menceritakan pertarungan Mpu Beradah dan Walunateng Dirah yang tidak dapat dihindarkan. Kedua belah pihak tak luput menghadirkan para murid yang kuat dan teguh. Ditambah lagi dengan keduanya saling beradu kesaktian. Membuat siapa saja yang melihat akan bersembunyi karena ketakutan.

Namun, apa daya Walunateng Dirah kewalahan menghadapi kekuatan Mpu Beradah. Sehingga jalan akhir yang ia lakukan melarikan diri dari pertarungan itu, serta bergegas untuk memohon bantuan kehadapan Bhatari Durga. Akan tetapi Bhatari Durga tidak bisa membantu, karena semua ilmu kesaktian sudah diberikan. Bhatari Durga pun menyarankan agar meminta perlindungan kepada Bhatara Baruna.

“Walunateng Dirah kemudian ke laut meminta panugrahan Bhatara Baruna. Bhatara Baruna memberikan sebuah perlindungan yakni hiu gergaji. Dalam bahasa Bali disebut Kakia Perang. Walunateng Dirah selamat dari kejaran Mpu Bharadah. Selama di lautan, Walunateng Dirah kembali dapat menghafalkan ilmu-ilmu hitam tersebut. Namun karena tidak kuat di laut terus-terusan, Walunateng Dirah kembali ke permukaan dan siap untuk menggempur kembali Mpu Bharadah. Dalam pertempuran itu, keduanya berubah menjadi Rangda dan Barong. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang,” ungkap Plt Ketua PEPADI Denpasar sekaligus pembina dalang, I Made Raka Sukada.

Menurut Sukada, kesenian Wayang Kulit Calonarang termasuk perkembangan dalam kesenian wayang kulit. Dulunya wayang kulit mengambil cerita Mahabharata dan Ramayana. Seiring perkembangan zaman, kesenian wayang kulit berkembang menjadi wayang kulit yang disesuaikan dengan cerita yang akan diambil. “Dalam perkembangannya, sekarang ada dinamakan wayang kulit calonarang, wayang arja, wayang babad. Yang membedakan hanya cerita yang akan dijalankan dalam pertunjukan wayang kulit itu,” terangnya.

Secara pakem, kata Sukada, mirip dengan wayang kulit lainnya. Namun dari sisi nyanyian pengiring, tentulah berbeda. “Kalau wayang kulit Ramayana dan Mahabharata, tentu akan diiringi dengan kekawin dan gegitan lainnya yang berhubungan dengan cerita. Sedangkan kalau wayang kulit calonarang ini, kita cari kutipan-kutipannya dari lontar-lontar penyalonarangan,” jelas Sukada sembari menyebut dalam wayang kulit tak jarang calonarang ada kegiatan ngundang-ngundang orang yang memiliki kesaktian, sehingga seorang dalang harus memiliki dasar ajar pedalangan yang kuat.

Sukada melanjutkan, dalam pementasan wayang kulit calonarang malam itu, PEPADI Denpasar juga mencoba menyelipkan edukasi tentang ajaran pengeliakan, kawisesan, kadiatmikan yang sesungguhnya tidak bermakna buruk. Suatu ilmu bersifat netral. Yang menyebabkan dipandang buruk adalah bergantung pada manusia yang akan menggunakannya. “Jadi pengeliakan, kawisesan, kadiatmikan, itu semua adalah ilmu. Ilmu itu harus disembunyikan, kecuali kepepet baru dikeluarkan. Zaman dulu yang boleh mempelajari adalah raja dan punggawa biar kekuatan Bali terjaga. Sekarang kalau dikatakan ilmu hitam jelek, bukan begitu. Yang jelek itu sifat individu seseorang itu saat memanfaatkan ilmu itu. Seperti misalnya pengiwa. Pengiwa itu timbul karena seorang wanita tidak dihargai oleh seorang laki-laki. Biar semua tahu bahwa wanita juga kuat,” paparnya.*