Translate

April 27, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Bee Dances Tutup Rangkaian Bali World Cultural Celebrations (BWCC)

DENPASAR – Pertunjukan kolaborasi Indonesia – Jerman bertajuk “Bee Dances” menutup rangkaian Bali World Cultural Celebrations (BWCC) atau Perayaan Kebudayaan Dunia 2022 yang menjadi bagian dari Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022. Pertunjukan kolaborasi antara Adhika Annissa (Ninus) dari Indonesia dan Kareth Schaffer (Jerman) yang menginterpretasikan tari Bali, Oleg Tamulilingan dan tarian waggle dari Jerman ini tampil di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Sabtu (25/6/2022) malam.

Ninus menjelaskan, Bee Dances menampilkan koreografi kreatif baru yang terinspirasi oleh tarian tradisional Oleg Tamulilingan I Ketut Marya (Mario) dan prinsip-prinsip tarian tradisional Jerman yang ditemukan dalam tarian waggle/lebah madu. Karya tari ini menitikberatkan pada perbedaan dan persamaan antara teknik tari Bali dengan teknik tari yang berkembang di Jerman atau Eropa.

“Kami ingin mencoba membuat sebuah garapan baru, di mana dalam kolaborasi dua negara ini dengan dasarnya mulainya dari Tari Oleg Tamulilingan. Bahkan untuk kolaborasi ini, kami mencari sumber Oleg yang versi Peliatan. Kami mencari Pak Gung Oka (Anak Agung Oka Dalem) ke Balerung Stage Peliatan. Karena kan ada beberapa versi, sehingga dari situ kita cari perbedaannya, dan gerakan apa yang bisa dikembangkan,” jelasnya.

Bee Dances memetakan keterhubungan antara tari kontemporer sebagaimana yang sering dipentaskan di Berlin dengan teknik tarian tradisional Indonesia, menelusuri keterkaitannya melalui serangkaian intervensi, wawancara, rekonstruksi, dan bentuk koreografi baru. Antara Ninus maupun Kareth, keduanya adalah koreografer dengan latar belakang tari yang berbeda.

Adhika Annissa atau Ninus berasal dari Jawa dan sudah tinggal di Bali sejak 2014, dan sudah mempelajari beberapa tarian tradisional Indonesia. Sedangkan Kareth Schaffer berasal dari Belanda dan Amerika, tinggal di Berlin dan belajar tari klasik Bali pada tahun 2019. Mereka pertama kali bertemu pada tahun 2016 untuk P.A.R.T.S. audisi di Belgia.

Kolaborasi pertama mereka terjadi pada 2018 ketika Schaffer belajar tari Bali di Mekar Bhuana Center di Denpasar. Mereka mulai melakukan pertukaran seni di mana mereka mengamati sikap, tradisi, dan wacana yang berbeda tentang tari sebagai seni dan menuangkannya ke dalam proses kreatif mereka masing-masing.

Dikatakan, dalam membuat karya baru yang terinspirasi dari Tari Oleg Tamulilingan, diakui ada sedikit kendala dalam olah tubuh. “Kendala secara ketubuhan, iya. Sebab ini juga adalah tari Bali pertama yang saya pelajari. Kami terus berkonsultasi dengan Pak Gung Oka, terkait bagian-bagian gerak tari, serta etis atau tidaknya suatu gerakan tari Bali jika dibuat kreatif sedemikian rupa. Nah, ketika saya ke Berlin, lumayan jadi PR untuk mengajarkan teman-teman Eropa. Butuh waktu memang,” kata Ninus sembari menyebut latihan di Jerman hanya dilakukan selama sebulan saja.

Kedua seniman ini sangat dipengaruhi oleh teknik tari Eropa kontemporer dan juga tradisional Indonesia. Karya tersebut terdiri dari empat bagian yakni lecture performance, duet dari perbendaharaan klasik Bali, dan dua karya kelompok baru. Ada enam penari yang tampil dengan diiringi musik contrabass dari Klaus Janek dan iringan musik gamelan dari komposer I Wayan Gede Purnama Gita dan Sanggar Sunari Wakya.

Sementara itu, budayawan Prof I Made Bandem mangapresiasi sebuah pertunjukan kolaborasi yang dinilai sudah mamapu meninterpretasikan atau recreating dengan tema percintaan kumbang. “Saya rasa pesan itu sampai. Sejauh ini mereka bagus interpretasinya terhadap Tari Bali. Gerakan tangannya, matanya, kepala sregsegnya, jalannya itu bagus,” ungkapnya.

Prof Bandem yang ditunjuk sebagai koordinator BWCC 2022 melanjutkan, mereka kaya akan perbendaharaan gerak. Namun sesungguhnya interpretasi tari Bali tidak hanya soal teknik. Perlu penghayatan kebudayaan, sehingga mereka lebih banyak bisa menginterpretasikan suatu tarian Bali. “Penghayatan kebudayaan Bali supaya bisa memberikan rasa. Kalau tari modern itu lebih ke teknik. Perlu penghayatan kebudayaan jika mereka menjadikan interpretasi mereka tari modern digabung dengan tari Bali,” ucapnya sembari berharap perguruan tinggi yang bisa belajar teknik tari modern dari sini,

Bee Dances menjadi pamungkas dari Gelaran Bali World Cultural Celebrations (BWCC) atau Perayaan Kebudayaan Dunia. BWCC mengetengahkan tajuk Danu Kerthi: Resilience and Harmony (Kebertahanan dan Harmoni). Terdapat 20 sekaa/komunitas/penampil dari Bali/Indonesia serta mancanegara yang berpartisipasi dalam BWCC ini. Antara lain berasal dari Amerika, Belanda, Belgia, China, Jepang, Perancis, Spanyol dan Taiwan. Diantaranya: Gamelan Terang Bulan (Japan); Gamelan Swara Shanti (Belanda); Gamelan Galak Tika (USA); Shackled Spirits Collage of The Holy Cross (USA); Gamelan Gita Lestari, National Taiwan University (NTU, Taiwan); Gamelan Barasvara (Barcelona); Gamelan Puspa Warna (Prancis); Gamelan Bintang Wahyu–Brigham Young University’s (USA).

Selain itu, ada pula Gamelan Sekar Jepun (Japan); Gamelan Tunas Mekar (Denver); Jack Quartet (NYC); Gamelan Geinoh Yamashirogumi (Japan); Saling Asah vzw (Belgium); Gamelan Burat Wangi (USA); Jingdezhen Ceramic Institute, Jiangxi Province (RRC); Sanggar Seni Makaradhwaja (Bali-Indonesia); Gamelan Belaluan Sadmerta (Bali-Indonesia); Roras Ensemble (Bali-Indonesia) dan Jes Gamelan Fusion (Bali-Indonesia). Akan tampil di penghujung acara BWCC ini, pertunjukan “Bee Dance” kolaborasi koreografer Andhika Annisa (Indonesia) dan Kareth Schaffer (Jerman).

Selain pergelaran diadakan pula tiga seri Dialog Budaya dengan pembicara terpilih bereputasi internasional, mengetengahkan tema “Water as Source of Innovation and Creation of Performing Arts”; “Contemporary Balinese Gamelan”; dan “Balinese Gamelan on Global Stage”. Beberapa narasumber yang akan berbagi pandangan dan pengalamannya seturut tiga tematik tersebut, diantaranya Prof. Dr. Made Mantle Hood (Taiwan), Prof. Dr. Wayan Rai S (Indonesia), Prof. Dr. Jody Diamond (USA), Prof. Dr. Wayan Dibia (Indonesia); Prof. Dr. Made Bandem (Indonesia) dan Wayan Gde Yudane (New Zealand).*