Translate

April 28, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Gambuh Komunitas Seni Baturenggong Mengwi Diiringi Tabuh Suling

DENPASAR – Kesenian gambuh umumnya terkesan sebagai kesenian yang serius. Namun Komunitas Seni Baturenggong, Banjar Delod Bale Agung, Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung berhasil menampilkan pegelaran Gambuh dengan lakon “Pralayaning Prabu Lasem” serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Jumat (1/7/2022) sore. Pakemnya tetap terjaga, humornya pun dapat.

Koordinator atau Pemilik Komunitas Seni Baturenggong, Gede Purnama Eka Saputra mengungkapkan, tiga tahun lalu pihaknya sudah mulai membangun gambuh tapi menggunakan semarapegulingan. Namun untuk tampil di PKB, pihaknya menggunakan iringan yang cukup sulit yakni iringan tabuh suling. “Dengan iringan tabuh suling ini memiliki cukup kesulitan. Tabuhnya memang memerlukan kompetensi yang luar biasa. Karena banyak teknik suling yang cukup sulit. Penabuh yang kami miliki cukup berkompetensi sehingga cepat dia paham,” ungkapnya.

Untuk mempelajari kesenian gambuh, Komunitas Seni Baturenggong pun mendatangkan pembina yakni pakar gambuh dari ISI Denpasar dan juga dari Pedungan, Denpasar Selatan. “Pembina yang kami datangkan dari ISI Denpasar dan juga dari Pedungan Denpasar. Karena kesenian gambuh sendiri memiliki pakem yang fundamental. Sehingga kami ingin kesenian yang ingin kami bangkitkan juga sesuai dengan tatanannya,” katanya.

Selain itu, Eka Saputra juga mengaku banyak bertukar pendapat dengan seniman lokal terutama dalam mengemas kesenian gambuh ini menjadi menarik untuk ditonton. Eka Saputra menemukan formulasi untuk menyisipkan bebondresan sebagai benang merah, namun bukan sebagai tokoh sentral. “Bebondresan ini memang tidak memegang peran penting. Tapi sebagai benang merah saja, supaya alur satu dan alur lainnya ketemu. Kita kemas sedemikian rupa, biar tidak terlalu pakem sekali, tapi kita perlu sisipkan inovasi,” bebernya.

Eka Saputra melanjutkan, pihaknya juga menginginkan gambuh ini bisa menjadi tradisi di desanya. Mengingat keunikannya menggunakan tabuh suling. “Kebetulan kami ingin menjadikan gambuh ini menjadi tradisi. Terlebih kami sudah sempat nangkil ke pengelingsir Puri Agung Mengwi AA Gede Agung, bahwa beliau setuju bahwa gambuh ini akan dipakai tradisi di Mengwi,” ucapnya sembari berharap ajang PKB ini bisa lebih menjangkau pelosok desa untuk pelaksanaan di tahun-tahun mendatang.

Adapun lakon yang diangkat yakni “Pralayaning Prabu Lasem” mengisahkan kerajaan bernama Kerajaan Lasem yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Prabu Lasem. Raja tersebut sangat berkeinginan memiliki seorang permaisuri. Prabu Lasem sudah mengutus semua rakyat dan para penggawa kerajaan untuk mencari seorang permaisuri, namum belum juga berhasil menemukannya.

Sang Prabu mendengar bahwa di Kerajaan Daha/Kediri ada seorang Putri yang sangat cantik yang bernama Diah Rangke Sari. Tanpa berpikir panjang Sang Prabu Lasem Langsung menuju ke Kerajaan Daha untuk meminang Putri Diah Rangke Sari. Tapi apa daya, sampai di sana pinangan Prabu Lasem ditolak mentah-mentah dan dipermalukan. Atas kejadian itu Prabu Lasem menjadi sangat murka serta berjanji akan menghancurkan Kerajaan Daha beserta rakyatnya.

Prabu Lasem sudah memulai janjinya tersebut dengan menyebar ketakutan, wabah penyakit, serta memporak-porandakan wilayah kekuasaan Kerajaan Daha. Rakyat menjadi menderita, wabah penyakit tersebar dimana-mana, perekonomian menjadi kacau balau. Melihat situasi seperti itu, Prabu Daha dengan kearifan serta kebijaksanaannya, mengutus Raden Panji untuk menggempur Kerajaan Lasem serta memperbaiki keadaan di wilayah Kerajaan Daha.

Dengan ditunjuknya Raden Panji untuk melawan Prabu Lasem, maka berangkatlah Raden Panji menuju Kerajaan Prabu Lasem. Di tengah perjalanan Raden Panji dihadang oleh Prabu Lasem yang sudah mendapat informasi dari para Telik Sandi bahwa Raden Panji akan menuju Kerajaan Lasem. Dalam pertemuan tersebut terjadilah perang besar antara Raden Panji dengan Prabu Lasem, dan Prabu Lesem dapat dikalahkan. Dengan kalah serta meninggalnya Prabu Lasem, maka keadaan di Kerajaan Daha menjadi normal kembali. Kepercayaan rakyat terhadap Kerajaan dan Pimpinannya makin meningkat, perekonomian membaik dan wabah penyakitpun sirna.*