Translate

May 17, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Minimnya Regenerasi Hingga Desain Inovasi

DENPASAR-Pesta Kesenian Bali XLIV Tahun 2022 telah resmi dibuka Minggu (12/6). Mengisi pekan pertama, PKB mengagendakan lomba membuat kerajinan beruk atau kerajinan batok kelapa di Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Senin (13/6). Sebanyak sembilan peserta tampak adu kemampuan menciptakan karya beruk yang indah.

Menggunakan mesin foredem, setiap peserta tampak fokus mendesain batok kelapa sebagai material dasar pembuatan beruk. Lomba ini dinilai langsung oleh tiga tim juri yakni I Wayan Suardana, I Nyoman Labda, dan I Komang Abda Wirawan. Menurut salah satu tim juri, I Wayan Suardana mengatakan, ada empat kriteria yang dinilai dalam lomba kerajinan beruk antara lain ide dan gagasan, bentuk dan hiasan, teknik pengerjaan, dan penampilan.

“Kreativitas, keterampilan, serta tampilan sangat penting di sini. Termasuk finishingnya. Kadang ada yang bentuknya sudah bagus, tapi finishingnya kurang. Bisa mempengaruhi penampilan beruk itu sendiri,” ungkap Suardana ditemui di sela-sela penilaian.

Dari pengamatan selama lomba, kata Suardana, sebagian besar peserta sudah terbiasa mengerjakan kerajinan beruk. Sehingga bisa dibilang, sebagian peserta yang ikut adalah pengerajin beruk. Akan tetapi dari sembilan peserta yang berlomba, menurutnya masih belum muncul ide dan gagasan baru. Para peserta membuat beruk sesuai dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari.

“Yang saya harapkan ide dan gagasan baru bisa muncul. Tapi yang saya lihat, masih banyak yang menekankan ornament dan orientasinya lebih banyak untuk kebutuhan sarana upacara. Mudah-mudahan nanti bisa muncul fungsi-fungsi lain, seperti beruk sebagai kap lampu, ikat pinggang, dan lain-lain,” jelasnya.

Dosen Kriya ISI Denpasar tersebut juga mengungkapkan, jika melihat saat ini memang animo masyarakat terhadap penggunaan beruk masih dominan untuk kegiatan keagamaan. Namun sejatinya, karya beruk ini tak hanya sebatas itu fungsinya. Jika mau mau menggali lebih jauh, kerajinan beruk bisa saja bernilai ekonomi lebih tinggi bahkan diekspor ke luar negeri.

“Pengerajin beruk selama ini melihat penggunaan beruk untuk kegiatan keagamaan sebagai sebuah peluang. Sehingga mereka menciptakan sarana-sarana upacara yang terbuat dari beruk. Tapi lebih dari itu, beruk bisa dijadikan berbagai jenis karya kerajinan yang mungkin bisa diekspor ke mancanegara,” ucapnya.

Akan tetapi Suardana juga membeberkan, permasalahan secara umum pada pada seni kriya adalah soal minimnya desain-desain baru. Sehingga kerajinan yang dikerjakan terkesan monoton dengan model yang itu-itu saja. “Seandainya ada pengembangan-pengembangan desain baru, kemudian dikolaborasi dengan material yang lain, saya yakin akan memiliki nilai seni yang tinggi dan potensi ekonomi yang luar biasa,” kata Suardana.

Sementara itu, juri lainnya I Nyoman Laba juga menyoroti minimnya minat generasi muda dalam mendalami kerajinan beruk. Tak hanya beruk. Menurutnya, hampir semua kerajinan minim regenerasi, bahkan jadi fenomena. “Anak-anak muda juga minatnya berkurang. Mungkin karena pengembangan kreativitasnya yang kurang. Modelnya hanya itu-itu saja. Sedangkan generasi muda saat ini kan perlu sesuatu yang baru,” terang Laba.

“Kami mengharapkan sekali pengerajin beruk ini ada regenerasinya, walaupun sudah sudah ada basisnya seperti di Tampaksiring dan Karangasem. Anak muda mau terjun melanjutkan pekerjaan ini, karena ini adalah salah satu jenis kerajinan yang potensial. Apalagi untuk materialnya, di Bali tidak ada kekurangan,” pungkas Dosen Kriya ISI Denpasar tersebut.*