Translate

May 4, 2024

Dinas Kebudayaan

Mari Lestarikan Tradisi & Kebudayaan Bali

Gong Kebyar Duta Gianyar Tetap Primadona Walau Tanpa “Mebarung” Antar Daerah

Meski utsawa (parade) gong kebyar disajikan dengan format yang berbeda pada Kesenian Bali (PKB) ke-44 tahun 2022 ini, namun penampilan seni ini tetap menjadi primadona. Lihat saja penampilan Duta Kabupaten Gianyar di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Art Center Denpasar, membius ribuan penonton, Kamis (16/6) malam.

Duta dari daerah seni di Bali itu menampilkan gong kebyar anak-anak, remaja hingga gong kebyar dewasa yang berada dalam satu panggung. Artinya, tidak lagi disajikan secara mebarung atau “mepetuk” tampil bersama dengan duta kabupaten lain.

Gong Kebyar Dewasa yang diwakili oleh Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana, Desa Adat Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh berada di panggung sebelah kiri panggung (selatan) dengan kostum gelap. Sementara Gong Kebyar Wanita yang diwakili oleh Komunitas Pancaka Tirta, Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring diberikan poisi di tengah-tengah depan gabupra panggung. Sedangkan Gong Kebyar Anak-anak yang diwakili oleh Sekaa Gong Kumara Satya Kencana, Lingkungan Sengguan Kangin, Kelurahan Gianyar, Kecamatan Gianyar menempati panggung di sebelah kanan panggung (utara) memakai busana putih.

Mengawali penempilannya, Duta Kabupaten Gianyar menampilkan lagu Bungan Pucuk yang diiringi gong anak-anak. Lagu itu dibawakan seorang pria dan wanita itu kemudian menjadi MC memandu setiap penampilan masing-masing gong kebyar dari tiga seniman yang berbeda kategori itu. Ketika masing-masing sekaa gong itu diperkenalkan oleh MC, masing-masing memberi salam perkenalan dengan memainkan sepenggal tabuh yang memang digarap secara khusus. Aksi dari masing-masing sekaa gong itu tentu saja mendapat sambutan meriah dari pengunjung PKB.

Duta seni Kabupaten Gianyar menyajikan satu konsep budaya yang utuh. Dalam penampilannya memakai konsep Tridatu, sebuah gagasan konsep ajaran Agama Hindu terkait dengan Tri Kona. Sekaa gong wanita menggunakaan busana warna merah sebagai konsep penciptaan. Sebab, dari rahim ibu-ibu itu melahirkan putra-putra yang luar biasa membangun dunia secara utuh. Sementara sekaa gong pria memakai busana warna hitam simbol Dewa Wisnu melambangkan air. Sedangkan sekaa gong anak-anak memakai busana warna putih, seperti kertas tisu, sebagai simbol mudah menyerap apapun, berharap anak-anak mempu menyerap ilmu pengetahuan.

Sekaa Gong Komunitas Bali Agung Pancaka Tirta Manukkaya Let Tampak Siring mengawali pementasannya dengan menampilkan “Tarian Ritus Ngwayon”. Tari ini mengambarkan prosesi ritual keagamaan dengan berbagai sarana upakara dan uperengga sebagai makna hubungan harmonisasi dengan Hyang Widhi Yang Maha Agung. Kemegahan dan kewibawaan suasana upacara tampak dengan ditarikanmya beragam kesenian baris gede dan rejang sesutrian sebagai wujud syukur sradda bakti umat akan karunia dan kebesaran Tuhan, dan seolah-olah Ida Betara pun ikut menari di alam kedewataan.

Ritus Ngewayon dihadirkan dengan menekankan gagasan, serta pikiran pokok dalam menjaga khasanah ritual, kebudayaan dan Agama Tirta di Bali. Ngewayon memberikan sepirit dan pemaknaan pada esensi dasar seni sebagai persembahan, persembahan tulus iklas menjadi semangat dalam menjaga tatanan Bali. Ngewayon Pura tirta Empul juga merupakan persembahan kepada tirtha atau air, sehingga Pemaknaan Danu Kerthi Huluning Mertha yaitu memuliakan air sebagai sumber kehidupan, dapat terwujud. Tari ini digarap I kadek Sugiata (Dek Olih) dari penata music oleh I Wayan Darya.

Sekaa Gong Anak-Anak Kumara Satya Kencana kemudian menampilkan Tabuh Pepanggulan Gong Kebyar Anak-Anak Kumara Sada yang digarap oleh I Ketut Cater dan I Gusti Ngurah Jaya Kesuma. Tabuh ini terinspirasi dari nafas kehidupan niskala ring natar Pura Sada Sengguan Gianyar yang sedang asyik bermain berbaur dengan anak-anak yang ngayah saat Puja Wali. Bali memiliki kesatuan gotong royong dengan rasa kebersamaan sebagai modal semangat bersatu untuk menuju Danu Kerthi dengan menjaga keseimbangan rasa, alam bumi kehidupan. Hal itu dilestarikan melalui nunas tirta penawaratnaan kehidupan dengan kekompakan, keindahan sebagai modal bermain dalam seni tabuh pepanggulan Kumara Sada ini.

Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana kemudian menyajikan Tari Kreasi “Ki Pasung Grigis” yang digarap oleh I Made Sudiasa dan I Nyoman Sunarta sebagai penata karawitan dan gerong. Tari kreasi ini semula diciptakan untuk memenuhi persyaratan ujian tugas akhir sarjana S1 di STSI Denpasar pada 1996, terus dilestarikan dengan penyempurnaan hingga pada 2003 tampil pada event festival Negara. Tari ini mengisahkan keteguhan, kesaktian, dan kesetiaan maha patih Ki Pasung Grigis. Ia sangat setia pada Raja Tubagus Macuet yang bergelar Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten di kerajaan Bada Hulu.

Namun, Siasat Majapahit dan ambisi Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara membuat Ki Pasunggrigis berhasil ditawan. Menyadari akan pentingnya menyatukan Nusantara dan untuk menghindari korban yg lebih banyak dari rakyat Bali maupun Majapahit akhirnya Ki Pasung Grigis rela berkorban demi kejayaan dan kesatuan Nusantara dengan “Aku dan bumiku, aku serahkan demi satu, Nusantara”.

Sekaa Gong Wanita ini kemudian menyajikan Kreasi Kembang Laras “Gina Ginung” Kembang Laras adalah jalinan musik dan tembang yang tertata apik sebagai sebuah sajian komposisi tabuh, sedangkan Guna Gina Ginung dapat diartikan sebagai kesadaran akan kewajiban dalam menjalankan swadarma kehidupan sesuai kemampuan dan potensi diri yang dimiliki, guna menata langkah kedamaian hidup bermasyarakat yang nyaman dan santun. Tabuh Kreasi I Wayan Darya ini mengajak kita untuk kembali menata langkah prilaku kehidupan yang selalu mengedepankan makna keharmonisan yang demokratis, selaras, paras-paros, silih-asih, menuju kasukertan jagat.

Sekaa Gong Kumara Satya Kencana lalu menampilklan Tari Kreasi “Nawa Ratna” sebuah tari penyembutan. Karya yang ditata Agung Giri Putra dan I Ketut Cater sebagai penata iringan terinspirasi dari Pusaka Permata Nawaratna yang disucikan di Puri Agung Gianyar. Sembilan warna yang terdapat pada permata Nawaratna, memiliki kekuatan mistik “Sembilan Dewa Surgawi” serta nilai kesucian yang mampu memberikan spirit dan aura positif. Nawaratna diturunkan pada waktu tertentu dengan sebuah ritual khusus untuk meminta air suci, yang nantinya digunakan sebagai “Tirtha Pengruwatan”

Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana lalu menyuguhkan Tabuh Kreasi “Mirah Banyu” yang digarap I Wayan Dibya Adi Guna. Sungai Pakerisan, merupakan sungai yang melintasi wilayah Desa Adat Tegallinggah yang terdapat sebuah goa mengeluarkan sumber mata air bening dan bersih. Ketika terpapar sinar matahari, membias dengan banyak warna bagaikan permata nan indah yang disebut mirah. Tempat ini akhirnya disucikan sebagai tempat pasiraman khayangan tiga, panglukatan sekaligus sebagai sumber irigasi dan mata air ini sebagai sumber kehidupan.

Pengunjung PKB kemudin Tari Kreasi “Kembang Janger” oleh Sekaa Gong Komunitas Bali Agung Pancaka Tirta Manukkaya. Tarian ini merupakan bentuk baru dari seni janger yang telah dikembangkan menjadi sebuah tarian kreasi dengan iringan musik gamelan Gong Kebyar. Identitas dan kekhasan seni Janger sebagai tarian sosial pergaulan muda-mudi yang bernuansa keceriaan dan kebersamaan masih tampak kuat melekat dalam karya ini. Tari ini digarap A A Gde Oka Dalem dan I Wayan Darya sebagai penata music.

Tari kreasi dengan judul “Rare Sada” suguhan Sekaa Gong Anak-Anak Kumara Satya Kencana juga tak kalah menariknya. Karya tari ini, implementasi dari Danu Kerthi Huluning Amertha atau memuliakan air sebagai sumber kehidupan yaitu bertujuan ingin merubah jiwa “preman” menjadi seniman. Tari ini ditata Dewa Memet dan penata karawitan Anak Agung Raka Jaya Kesuma.

Sajian pamungkas duta Kabupaten Gianyar sebuah pragmentari “Ki Tunjung Tutur” yang disajikan Sekaa Gong Jenggala Gora Yowana. Garapan seni ini mengangkat sebuah cermin pemimpin era baru yang memetik filsafat dari cerita kemuliaan bunga teratai. Meninggi mengikuti ruang, merendah untuk bersama. Keteguhan membuatnya tak terpengaruh, untuk menjadi yang lain, tetapi tetap pada pancarannya. Petuah ini melahirkan sosok pemimpin di Puri Tojan Blahbatuh. I Gusti Gede Oka (Djelantik IX) yang diberikan wilayah kekuasaan di bagian selatan Danau Batur, Sebelah timur Sungai Petanu, dan sebelah barat Sungai Pakerisan, oleh kakeknya Ki Gusti Panji Sakti dan dibekali sebuah pusaka yang sarat akan filsafat bernama “Ki Tunjung Tutur”.

I Gusti Gede Oka Djelantik menugaskan putranya I Gusti Gede Geso untuk menjajagi wilayah Blahbatuh bagian utara yang belum pernah dijamah, di tengah perjalan I Gusti Gede Geso bertemu dengan I Gusti Ngurah Pacung yang akan menuju Alas Bengkel, karena kondisi jalan yang sempit maka terjadilah pertempuran hingga tak ada yang menang ataupun kalah dan ternyata keduanya memilih jalan damai. Atas kejadian tersebut tempat ini diberi nama “Marga Sengkala” dan mereka saling bertukar selendang sebagai tanda perdamaian.

I Gusti Gede Geso melanjutkan perjalanan hingga sampai di Tegal Gora, karena para pengikut beliau sangat kelelahan maka beliau memilih untuk beristirahat dan bersemedi memuja Bhatara di Pura Masceti, Keramas. Seketika muncul angin yang diikuti kepulan asap wangi dan para pengikut beliau seketika pulih kembali. Atas anugrah ini, dibangunlah sebuah pura dengan nama “Pura Tegalwangi”.

Suatu ketika serangan hama yang tak terkendali memorak porandakan lahan pertanian masyarakat di wilayah Tegal Gora, maka I Gusti Gede Geso memutuskan untuk membangun tapa kembali di pura Tegalwangi dan hamapun dapat dikendalikan, maka dibangunlah pelinggih Sedan Merana dan wilayah kekuasaan beliau bernama “Tegallinggah”.*